Ada jugalah aku menyukai seni peran.
Tetapi pada dasarnya, aku tak pernah ingin menjadi pemain dalam bidang yang
demikian itu. Tak pernah mengimpikannya. Tampil ke depan penonton, memainkan
peran. Yang jelas bukan diriku.
Yang pernah ada dan terpikirkan
itu, aku hanya ingin menjadi seorang penata
artistic sebagai bahagian kekuatan dari seni peran, atau hanya sebagai juru foto saja untuk mendokumentasikan
seni peran yang dipentaskan di pentas pertunjukkan. Bila di film aku ingin
bekerja sebagai cameramen atau
kemudian bisa menjadi seorang sutradara.
Menurutku itulah bidang yang kusukai.
Walau tak berkeinginan, pada usia
belia di kota kelahiranku, pada masa dahulu kala itu, aku pernah mengawali seni
peran hanya tersebab situasi tapi tidak karena tujuan. Aku pegang peran dengan
sejumlah dialog naik panggung pentas teater. Untuk memenuhi tatapan mata di
sebuah gedung pertunjukan kota kami, dimana malam itu penuh sesak dan sangat
banyak penonton tidak bisa masuk, karena keterbatasan kapasitas gedung. Malam
Pertunjukan Seni Sanggar Paris,
Pariaman.
Lantas untuk kedua kalinya di
seni peran, adalah tampil berdua bersama kakak kandungku sendiri, Gusfen
Khairul Agusta—beliau kemudian hari lebih serius menjadi
seorang jurnalis media-- bermain untuk lomba teater di kota kami dan
kiranya menang. Baik pertunjukan kami, begitu juga kemenangan kami, mendapat
sambutan dari kalangan isi kota yang mengenal kami pada masa itu.
Setelah hijrah ke Kota Padang dan
hidup di Taman Budaya Padang, tak hendak aku masuk lagi ke seni peran
sebagai pemain untuk naik panggung pertunjukkan. Kegiatan latihan teater silih
berganti. Aku hanya rajin mengikuti proses latihan, proses garapan kerja
sutradara dan akhirnya tiba waktunya, aku dipercaya mengerjakan urusan artistic
pentas mereka.
Kalangan yang bergiat seni peran
ini semuanya saling kenal denganku. Terutama mereka-mereka berbasis di Taman Budaya Padang. Salahsatunya
hubunganku sangat dekat dengan pelukis yang kemudian lebih eksis sebagai
sutradara teater, A. Alin De. Setelah di Bumi Teater, Padang, pimpinan teaterawan
Wisran Hadi, A. Alin De mendirikan group teater sendiri, Sanggar Dayung-Dayung,
Padang. Salahsatu group teater dari Sumatera Barat yang pernah sampai ke
tingkat nasional.
Namun ada sejumlah kalangan
berpendapat di banyak kesempatan di masa tahun 1980-an, andaikan aku dinaikkan
ke atas panggung, disebut mereka aku ini punya karakteristik khas dan menarik.
Alasan mereka, bila dalam banyak momen keseharianku, topik pembicaraan dan gaya
bicaraku selalu satire, khas dan karikatural. Entah benar entah tidak.
Itu kan pendapat dari sejumlah orang yang memperhatikan karakterku.
Walaupun aku serius dalam bicara,
selalu saja ada banyak momen membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Termasuk
yang biasanya pelit suara dan tertawa bisa seketika tak sadar, tersenyum dan
tertawa. Padahal aku tak pernah bermaksud humor dan lawak. Namun semua itu
terjadi, sejujurnya semata-mata hanya karena mood dan suasana saja seketika itu.
Aku kira boleh jadi benar,
seperti kuketahui di kemudian hari dikatakan dalam sejumlah kesempatan pada
kalangan teman-teman oleh Edi Anwar (Asfar) ---ayahanda dari Febri Diansyah, S.H, juru bicara KPK
saat ini--- setentang diriku perihal itu, kira-kira begini; “Si Arkhi anak ajaib ---begitu khas Edi
Anwar menyebut namaku--- kalau bergarah (bercanda) atau berolok-olok sekenanya
tanpa beban, yang disampaikannya adalah hal menarik dan serius. Malah kalau dia
serius bicara sulit untuk diduga…,”
Aku orangnya sebenarnya seorang
pendiam dan serius. Jika terjadi hal semacam begitu, semata-mata spontan. Tidak
ada rancangan yang kupersiapkan. Tidak ada bahan harus kuingat dan kuhafal.
Karenanya, seringkali aku merasa bosan pabila seseorang suka mengulang-ulang sesuatu
bentuk atau topic, meskipun awalnya lucu, segar, menarik tanpa ada sentuhan
baru sekaligus bernilai lebih dari sebelumnya. Baik bersumber cerita orang yang
diceritakan atau ceritanya sendiri yang diceritakannya. Apalagi paling memuakkan,
jika ide orang-cerita orang dikesan seolah-olah ide-cerita merupakan pengalamannya
sendiri.
Contoh berulang-ulang ini sangat
mudah ditemukan kekinian pada keseharian kita. Pada umumnya pada saat
bersama-sama, ada seseorang menjadi pusat perhatian. Karena ada-ada saja
tingkah dan cerita yang dikemukakannya, agar menarik perhatian orang tertuju
kepadanya. Cerita itu tidak lebih cerita yang hampir semua orang sudah
mengetahui. Sedang si tukang cerita merasa itu lawak dan dapat membuat orang
tertawa.Yakinlah bagiku tidak menarik. Jika aku berada di situasi itu, aku akan
diam atau berusaha pergi untuk mencari kegiatan sendiri.
Pernah berulangkali, seorang
kakak angkatku Emil Demitra ---nama pemberian dari Proklamator Bung Hatta---
untuk anak kedua budayawan Roestam Anwar
--'-pendiri Penerbit NV Nusantara
Bukittinggi-Jakarta dan Minang Int. Hotel--- mencetuskan dia ingin
mendapatkan sebuah camera video, akan memasang camera itu ontime, merekam aku "ngoceh"
saat dikurung di satu kamar dari pagi sampai tengah malam. Dia ingin mendengar
hal apa yang dapat kukatakan sepanjang waktu itu melalui hasil rekaman.
Emil saat itu bergiat jadi salah
seorang crosser di Sumatera Barat dan
menekuni dunia mekanik. Ide gilanya tak terwujud. Dia tak berhasil melaksanakan
niat hatinya itu untuk memperlakukan karakterku yang menurut orang serupa itu,
aku ini dicapnya seorang yang tak pernah kehabisan topik cerita. Lebih mau
bicara apa saja daripada harus istirahat tidur.
Aku kira sebahagian kecil
kebiasaan demikian sudah terotomatis dalam diriku, bukan sesuatu dibuat-buat,
yang membuat sutradara film Indonesia MT
Risjaf ---nama berkibar dengan film
Naga Bonar yang disutradarainya sukses, melambungkan nama aktor Deddy Mizwar
dan aktris Nurul Arifin--- pernah “memaksaku” tampil untuk sejumlah peran
kecil, menjadi teman kuliah Marissa Haque
saat aku bekerja menjadi crew asisten artistik sinetron Masih Ada Kapal ke Padang,1995, ditayangkan kemudian di televisi
SCTV-Jakarta. Walau menolak, akhirnya aku ikut main. Padahal aku tidaklah dalam
suasana spontanku.
“Jin” dalam diriku tidak tampil. Tak
keluar-keluar. Spontanitasku entah kemana. Mungkin Jin itu merasa takut disorot
sinaran lampu. Tak ada luarbiasa di permainan yang sekejap-sekejap seperti itu.
Sibuk dengan take, ok dan cut. Silih berganti. Namun hal itu tak
kupikirkan demikian serius. Sudahlah. Itu tidak obsesi di dunia seni peran.
Beda dengan seorang seni peran.
Dengan waktu terbatas, jika dia ingin memperlihatkan kemampuannya bermain,
disaat itulah kesempatan berharga baginya. Apalagi, produksi sinema elektronik
(sinetron) komersil adalah dunia impian banyak orang, popularitas dan
menjanjikan honorarium. Sebuah jalan tidak semua orang bisa memperolehnya.
Tetapi aku sayang sekali tidak termasuk demikian.
Walaupun tak hebat, tak diduga
lain jadinya. Perkara itu bukan berarti sutradara yang kami akrab panggil Pak
Taba' ini berhenti berharap aku bisa bermain kembali di penyutradaraannya. Di
waktu lain, ia langsung saja memintaku untuk menjadi pemain peran pembantu pria
utama, maksudnya kira-kira pemain urutan kedua setelah pemain utama pria, di
sinetron Jenderal Naga Bonar versi 2,
produksi Mutiara Film-Jakarta, 1996.
Membuat jurnalis senior-kemudian
bergiat teater dan bermain sinetron Sjafrial Arifin (kakak sulung
penyair Syarifuddin Arifin) merasa keki padaku, karena PH (Production
House) berkali-kali meminta bantuan dia
agar menghubungiku di Padang untuk segera datang ke Jakarta. Mendengar menjadi
pemeran, aku sebenarnya aku tak berminat. Aku hanya ingin menjadi crew artistic.
Namun akhirnya kutemui juga Pak
Taba’ di lokasi shooting di daerah Citayam, Depok. Pertama berjumpa saja wajahnya
cerah sambil tertawa. Aku sampaikan dengan polos bahwa aku tak berkeinginan
untuk dapat peran. Pak sutradara itu tak peduli dengan ketidak-inginannya, ia
terus saja mencoret-coret scenario, “Nah…
kamu main saja untuk beberapa episode. Ini. Ini. Ini shoot untuk kamu…, kamu
harus main.”
Beberapakali selesai shooting
kala waktu dinihari, aku pulang dari lokasi shooting ke rumah saudara di
Ciputat, menumpang dengan mobil Mathias Muchus menuju daerah
Pamulang. Mathias Muchus adalah pemeran tokoh utama Naga Bonar. Muchus menyetir
sendiri mobilnya, juga butuh teman agar tak sendirian. Kloplah. Aku sudah
mengenalnya pada shooting sebelumnya pada sinetron Masih Ada Kapal ke Padang.
Pasangan perannya aktris, Marissa Haque. Produksi Rana Artha Mulia Film
Production, Jakarta. Di sinetron itu, ia juga Pemeran Utama Pria.
Dalam perjalanan pulang berdua bersama
actor Mathias Muchus, aku masih mengingat ucapannya padaku, “Kamu
bodoh menolak kesempatan. Ditunjuk langsung sama sutradara itu tak sembarangan.
Apalagi sutradaranya ternama. Banyak orang ingin dapat kesempatan tapi tidak
setiap orang dapat dengan mudah…, aduh kamu…,”
Diantara waktu break shooting, hanya
aku dan Pak Taba duduk bercakap-cakap di dalam gedung tua bekas pabrik roti,
dijadikan sebagai setting di Citayam. Topik pembicaraan kami sekitaran kurenah urang Padang (maksudnya Minang).
Disela-selanya kami tertawa.
Waktu itu aku sampaikan juga isi
hatiku bahwa aku tak hendak main, karena aku merasakan kekurangan pada diriku.
Apa jawaban MT Risjaf? “Naahhh…, itu yang
dibutuhkan seni peran! Kekurangan itulah kekuatan. Peran kecil banyak orang tak
suka. Padahal dari peran kecillah lahir actor.”
Sejujurnya, sedikitpun aku tak
memiliki keinginan di dunia peran semacam menjadi pemain di televise sampai
hari ini. Meskipun pernah terbuka jalan untukku. Tetapi tidak membuatku “tergiur”
akan populeritas dan kemapanan ekonomi tanpa, mengurangi rasa hormatku pada
sutradara Kardy Said, pertamakali
mengajakku untuk terlibat produksi sinetron, penata artistic Ramidi Rogodjampi, sutradara MT Risjaf, sutradara Ami Priyono, aktris Marissa Haque, actor Mathias Muchus. Sehingga aku dapat
mengenal banyak hal dan bekerja bersama banyak teman-teman senior ataupun
yunior yang memang hidup di dunia perfilman Indonesia
Seketika akupun teringat akan
sahabatku yang entah dimana sesama pekerja artistic dulu, Opung Lubis, Cak
Mukhtar, Rukidarto dan si Geblek (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar