Tidak banyak yang masih mengenal nama Pasar Sjarikat Piaman. Pasar ini sekarang menjadi Pasar Pariaman, dibawah pengelolaan UPTD (Unit Pelaksana Teknis) Pasar pemerintah daerah Kota Pariaman. Dinamakan Pasar Sjarikat, karena kepemilikan pasar adalah milik 4 nagari yakni Kenagarian V Koto Aia Pampan, IV Angkek Padusunan, IV Koto Sungai Rotan dan Pasa Piaman.
Kepemilikan itu berdasarkan kesepakatan antar nagari untuk memudahkan memenuhi kebutuhan masyarakat nagari masing-masing dalam jual-beli, kebutuhan sandang dan pangan. Merupakan “pintu gerbang” perekonomian oleh pihak luar dalam perdagangan memasuki pasar Pariaman sampai ke pelosok-pelosok nagari
Keuntungan dari “pungutan” atau “beo” Pasar Sjarikat menjadi sumber pendapatan nagari. Pasar Sjarikat yang membedakan dengan “Balai-Balai” yang ada di setiap kenagarian di seluruh Pariaman adalah aktifitasnya setiap hari. Sedangkan balai di masing-masing nagari ditetapkan menurut hari sehari dalam sepekan. Makanya balai juga disebut banyak masyarakat dengan Pakan (Pekan). Misalnya, di Nagari Ampalu VII Koto Sungai Sariak ada Balai Satu (kegiatan jual beli di Hari Sabtu), di Nagari Sungai Limau Balai Akaik (di hari Minggu), atau di Nagari Sicincin hari balainya hari Jumahaik (Jum’at) dan Sinayan (Senin). Atau Nagari Kuraitaji-Sunua di hari Sinayan.
Pasar Sjarikat Piaman terletak di tengah pusat pemerintahan, mudah diakses dari berbagai arah, berdekatan dengan setasiun kereta api menuju arah selatannya ke Kota Padang dan Nareh ke utaranya. Tak berapa jauh dengan garis pantai Samudera Hindia, merupakan kawasan pesisir barat Pulau Sumatera. Membuat pasokan ikan hasil tangkap nelayan setempat menjadi andalan komoditi pasar ini. Begitu juga sampai dekat Pasar Sjarikat didirikan gudang tempat penyimpanan garam yang dikenal dengan Gudang Garam. Sekarang bangunan Gudang Garam sudah tidak ada lagi, digantikan dengan bangunan pertokoan dan pasar ikan.
Terbentuknya Pasar Sjarikat didorong juga dengan posisi Piaman di masa silam sebagai salah satu titik pelabuhan utama jalur perdagangan di pantai barat Sumatera. Pada masanya, Piaman memiliki jalur perdagangan-laut dengan Aceh. Keterkaitan ini menurut sejarahnya, karena Piaman berada dalam pengaruh kerajaan Aceh. Karena menjadi pelabuhan laut, otomatis tempat keluar-masuk akses ke nagari-nagari di pelosok Piaman. Begitu juga sebaliknya. Ditambah lagi pihak Belanda mendirikan Setasiun Besar Kereta Api Pariaman dekat pasar.
Pasar Sjarikat memiliki dagangan utama potensi setempat berupa Karambia (buah kelapa) dan minyak Manih (minyak kelapa) hasil kebun rakyat di nagari-nagari dan ikan laut hasil tangkap nelayan yang bermukim sepanjang pesisiran. Kulinernya, sate dan es-tebak. Makanan ringannya kipang kacang, kue sangko, ladu arai pinang dan karupuak baguak (emping).
Diperkirakan sekitar tahun 1980-an status Pasar Sjarikat “digerogoti” dengan program pemerintah pusat yang mendirikan pasar-pasar Inpres (Instruksi Presiden) di pasar milik nagari. Ditambah lagi menjelang akhir kekuasaan Soeharto nagari-nagari dipecah-pecah sampai ada yang menjadi Kelurahan. Memang ada keputusan untuak “baliak ka nagari” beberapa tahun ini tapi tampaknya lebih kepada penamaan. Karena kekuasaan dan pelaksanaan terlanjur lebih “menentukan.” Terutama dialami oleh nagari yang berada dalam pemerintahan kota.
Sehingga bagaimana “perpindahan” kepemilikan asset nagari kepada pemerintah daerah, semacam yang terjadi pada Pasar Sjarikat Piaman ??? Entahlah. Yang jelas selain menjadi penggerak kehidupan ekonomi masing-masing nagari dulunya, Pasar Sjarikat Piaman adalah symbol ikatan berbagai aspek kebudayaan empat nagari, kini telah tercerabut dari akarnya, mati karena dibunuh, pudar karena sistim kekuasan, dengan hanya sepatah kata “demi kemajuan.” (abrar-khairul-ikhirma-28/10-11)
Sabtu, 29 Oktober 2011
Kamis, 27 Oktober 2011
Masjid Raya Syech Burhanuddin
SUDAH banyak bangunan masjid di berbagai daerah di Sumatera Barat kini, nyaris tidak memperlihatkan identitas local, malah “senang” membangun “meniru-niru” gaya masjid modern di Timur Tengah. Tidak terkecuali tampaknya Masjid Raya Syech Burhanuddin yang dibangun di Kompleks Makam Syech Burhanudin [tokoh pengembang Islam di Minangkabau] di Ulakan, Kecamatan Ulakan-Tapakis, Kabupaten Padangpariaman.
Suatu hal yang amat disayangkan. Padahal arsitektur local justru lebih mendekatkan bangunan dan fungsinya dengan spirit masyarakatnya. Tidak diketahui, tumbuh suburnya gejala arsitektur demikian apakah hal itu atas kemauan masyarakat sendiri ataukah hanya atas selera kekuasaan “panitia pembangunan” semata saja ???
[abrar-khairul-ikhirma-okt-2011]
Rabu, 26 Oktober 2011
“Ajo Andre” dari Tandikek
Bersama dengan Bustanul Arifin, wartawan Posmetro Padang di Pariaman, aku mampir ke rumah Ajo Andre, penyanyi Minang kocak di Tandikek (19/10/11), sepulang menelusuri salah satu daerah yang terparah bekas Gempa 30 September 2009 silam.
Rumahnya tidak jauh dari Balai Tandikek, Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman. Hari balainya di hari Minggu. Meskipun berada di sana bukan di hari balai namun denyut kehidupan masih terlihat lumayan bagus. Tidak lengang, juga tidak ramai. Lalulintas boleh dikata tak sepi. Di Balai Tandikek sendiri tadi banyak juga yang berjualan bermacam-macam keperluan sehari-hari.
Ajo Andre sudah setahun lebih terserang stroke.Dia sempat dirawat cukup lama di Rumah Sakit Stroke di Bukittinggi dan akhirnya menjalani terapi pengobatan alternative. Dibandingkan dengan serangan awal, dia jauh lebih sehat. Bagian tubuh sebelah kanannya melemah. Saat itu dia tidak bisa bicara. Kini dia sudah bisa berjalan dan menyesuaikan dirinya dengan keadaannya sekarang. Berbicara pun bisa meski untuk beberapa patah kata agak sulit untuk dilafazkannya.
Kedatangan kami membuat dia gembira. Dari ekspresinya tergambar sudah. Ini kali kedua aku menjenguknya di Tandikek. Sebelumnya di 13 Mei 2011 lalu. Memang aku tidak bisa memberikan bantuan tetapi hanya dengan cara menjenguknyalah aku dapat menunjukkan bahwa dirinya adalah saudaraku. Aku yakin, dalam keadaannya sekarang, dia sangat jauh dari teman-temannya. Dia adalah salah seorang adikku.
Mengapa aku dapat mengatakan dia adikku? Aku mengenalnya pertamakali dulunya saat rajin mengunjungi sekolah-sekolah di Sumatera Barat, bersama teman-teman penyairku dalam paket “Kunjungan Sastra.” Salah satunya yang dikunjungi dimana Ajo Andre sekolah yakni SMPN VII Koto Sungai Sariak. Pada moment itu, Ajo Andre bersama Syofiardi Bachyul Jb (sekarang penulis) dan Febriansyah tampil bermain pantomime. Selanjutnya dia bergabung dengan Sanggar Semut Pariaman, pimpinan alm. Jhoni Amrin. Dia takut melihat penampilanku yang pendiam dan berambut panjang. Jika dia datang ke sanggar pagi-pagi, aku masih tidur di atas meja, dengan pelan-pelan dia berjalan, takut aku terbangun dan segera memasak air dan membuatkan kopi untukku.
Ketika dia melanjutkan pendidikannya ke SMKI –Sekolah Menengah Kesenian Indonesia- diapun bergabung dengan Sanggar Semut Padang. Diapun rajin “main” ke Taman Budaya Padang, dimana aku tinggal sehari-hari dalam kehidupan sanggar. Lalu waktu aku rajin nginap di rumah keluarga kakak kami teaterawan alm. A.Alinde di Dangau Teduh, diapun dekat dengan keluarga ini. Begitu juga di rumah suami-isteri budayawan babe Roestam Anwar dan Joesna Roestam Anwar atau kakak kami seniman Alda Wimar dan Nina Rianti.
Dia pribadi yang baik. Kepadaku dia sangat hormat. Dimanapun dia ketemu, pastilah akan mendatangi terlebih dulu untuk bersalaman dan menyapa. Saat itu dia rajin dalam kegiatan bermain teater sampai bergabung dengan Teater Keliling Jakarta pimpinan Derry Sirna-Rudolf Puspa. Kemudian aktif di Sanggar Dayung-Dayung Padang.
Dalam perjalanan waktu kemudian, dia masuk ke dapur rekaman. Awalnya membuat kekocakan sebagai pengisi jeda lagu ke lagu rekaman caset lagu Minang. Kemudian sekaligus menjadi penyanyi. Terakhir kali kami dekat, setelah sama-sama tidak lagi nginap di Rumah Nina Tunggul Hitam. Karena dunia kami berbeda yang kami pilih, otomatis terpisah menjelang dia menanjak namanya di dunia rekaman, kami tidak pernah berjumpa lagi sampai bertahun-tahun.
Aku menjumpai Si An –panggilanku untuk Ajo Andre- lagi setelah sekian tahun berlalu, ketika mendapat kabar, sudah dua pekan dia terkapar di rumah sakit stroke Bukittinggi. Saat berjumpa, sama-sama terharu. Kukatakan padanya, aku baru mendapat kabar dan aku datang kini dari jauh, karena kamu adalah adikku. Sebab hal itu kukatakan padanya, karena persaudaraan tidak pernah pudar. Sedang karir di dunia rekaman dan namanya bisa pudar seiring putaran zaman dan kehendak-Nya, seperti sekarang ini. [abrar-khairul-ikhirma-19-10-2011]
Rumahnya tidak jauh dari Balai Tandikek, Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman. Hari balainya di hari Minggu. Meskipun berada di sana bukan di hari balai namun denyut kehidupan masih terlihat lumayan bagus. Tidak lengang, juga tidak ramai. Lalulintas boleh dikata tak sepi. Di Balai Tandikek sendiri tadi banyak juga yang berjualan bermacam-macam keperluan sehari-hari.
Ajo Andre sudah setahun lebih terserang stroke.Dia sempat dirawat cukup lama di Rumah Sakit Stroke di Bukittinggi dan akhirnya menjalani terapi pengobatan alternative. Dibandingkan dengan serangan awal, dia jauh lebih sehat. Bagian tubuh sebelah kanannya melemah. Saat itu dia tidak bisa bicara. Kini dia sudah bisa berjalan dan menyesuaikan dirinya dengan keadaannya sekarang. Berbicara pun bisa meski untuk beberapa patah kata agak sulit untuk dilafazkannya.
Kedatangan kami membuat dia gembira. Dari ekspresinya tergambar sudah. Ini kali kedua aku menjenguknya di Tandikek. Sebelumnya di 13 Mei 2011 lalu. Memang aku tidak bisa memberikan bantuan tetapi hanya dengan cara menjenguknyalah aku dapat menunjukkan bahwa dirinya adalah saudaraku. Aku yakin, dalam keadaannya sekarang, dia sangat jauh dari teman-temannya. Dia adalah salah seorang adikku.
Mengapa aku dapat mengatakan dia adikku? Aku mengenalnya pertamakali dulunya saat rajin mengunjungi sekolah-sekolah di Sumatera Barat, bersama teman-teman penyairku dalam paket “Kunjungan Sastra.” Salah satunya yang dikunjungi dimana Ajo Andre sekolah yakni SMPN VII Koto Sungai Sariak. Pada moment itu, Ajo Andre bersama Syofiardi Bachyul Jb (sekarang penulis) dan Febriansyah tampil bermain pantomime. Selanjutnya dia bergabung dengan Sanggar Semut Pariaman, pimpinan alm. Jhoni Amrin. Dia takut melihat penampilanku yang pendiam dan berambut panjang. Jika dia datang ke sanggar pagi-pagi, aku masih tidur di atas meja, dengan pelan-pelan dia berjalan, takut aku terbangun dan segera memasak air dan membuatkan kopi untukku.
Ketika dia melanjutkan pendidikannya ke SMKI –Sekolah Menengah Kesenian Indonesia- diapun bergabung dengan Sanggar Semut Padang. Diapun rajin “main” ke Taman Budaya Padang, dimana aku tinggal sehari-hari dalam kehidupan sanggar. Lalu waktu aku rajin nginap di rumah keluarga kakak kami teaterawan alm. A.Alinde di Dangau Teduh, diapun dekat dengan keluarga ini. Begitu juga di rumah suami-isteri budayawan babe Roestam Anwar dan Joesna Roestam Anwar atau kakak kami seniman Alda Wimar dan Nina Rianti.
Dia pribadi yang baik. Kepadaku dia sangat hormat. Dimanapun dia ketemu, pastilah akan mendatangi terlebih dulu untuk bersalaman dan menyapa. Saat itu dia rajin dalam kegiatan bermain teater sampai bergabung dengan Teater Keliling Jakarta pimpinan Derry Sirna-Rudolf Puspa. Kemudian aktif di Sanggar Dayung-Dayung Padang.
Dalam perjalanan waktu kemudian, dia masuk ke dapur rekaman. Awalnya membuat kekocakan sebagai pengisi jeda lagu ke lagu rekaman caset lagu Minang. Kemudian sekaligus menjadi penyanyi. Terakhir kali kami dekat, setelah sama-sama tidak lagi nginap di Rumah Nina Tunggul Hitam. Karena dunia kami berbeda yang kami pilih, otomatis terpisah menjelang dia menanjak namanya di dunia rekaman, kami tidak pernah berjumpa lagi sampai bertahun-tahun.
Aku menjumpai Si An –panggilanku untuk Ajo Andre- lagi setelah sekian tahun berlalu, ketika mendapat kabar, sudah dua pekan dia terkapar di rumah sakit stroke Bukittinggi. Saat berjumpa, sama-sama terharu. Kukatakan padanya, aku baru mendapat kabar dan aku datang kini dari jauh, karena kamu adalah adikku. Sebab hal itu kukatakan padanya, karena persaudaraan tidak pernah pudar. Sedang karir di dunia rekaman dan namanya bisa pudar seiring putaran zaman dan kehendak-Nya, seperti sekarang ini. [abrar-khairul-ikhirma-19-10-2011]
Selasa, 25 Oktober 2011
Kala Pagi Memandang ke Daratan
Sudah lama aku ingin memotret, saat pagi berada di pulau ke arah daratan.
Mungkin tidak lagi hitungan minggu dan bulan, sudah bertahun jika dihitung saat keinginan itu muncul dalam pikiranku.
Apa yang membuat keinginan itu datang ?
Tidak lain dan tidak bukan sederhana saja. Ada pepatah Orang Minang yang mengatakan “mahangok kalua badan.” Artinya kira-kira mencari kemungkinan atau bantuan dari luar. Arti pepatah Minang itu sangat universal. Bisa dijadikan sebagai penyimpul dari banyak hal terhadap keberadaan seseorang atau diri sendiri. Bisa ditafsir dengan atau untuk apa saja. Rasanya sangat relevan dan selalu dapat dijadikan sebagai acuan.
Aku misalnya, menafsirkannya sekaitan keinginanku untuk melihat daratan dari sebuah pulau. Meminjam pepatah “mahangok kalua badan” itu dalam artian melihat kehidupan lain diluar kehidupan sehari-hari yang selama ini dijalani.
Kehidupan yang aku maksud daerah, suasana dan segala yang berkait dengan perihal itu. Bagaimana keseharianku hidup lebih banyak hanya di daratan.
Bagaimana pula sekiranya saat-saat berada berjarak dari daratan melihat dari pulau. Salah satu gugusan yang terpisah dengan daratan, dikepung oleh lautan. Beralun, berombak dan bergelombang.
Berada di sebuah pulau tidaklah aneh bagiku. Dalam sejumlah kesempatan hal itu pernah terjadi. Namun waktu pagi hari dan pulaunya berjarak dekat dengan daratan, lalu dapat mengabadikan pemandangan dan suasananya ya belum sempat terlakukan. Tentu saja penyebabnya macam-macam. Salah satunya, sedang tidak memiliki camera dan tidak berada di momen yang tepat. Memang sulit untuk merencanakan dan menjalankan rencana itu sendiri.
Buktinya baru kali inilah aku mendapatkan kesempatan.
Kesempatan yang tidak direncanakan. Tujuanku sebagaimana biasanya, kalau sedang berada di kota tepi pantai ini, minum pagiku di pangkalan nelayan.
Di sini tepi pantai, aku dapat melihat ikan-ikan diturunkan nelayan dari kapal bagan ke daratan dengan keranjang ikan. Atau menurunkan biduk ke laut, melepas yang pergi melaut, menunggu ombak tenang hingga dapat membawa biduk ke balik ombak. Begitu juga sapaan yang akrab dari para nelayan dan pedagang ikan atau bercakap-cakap sejenak di bawah kerindangan pepohonan waru dan ketaping pantai. Semuanya membuat diriku menjadi segar.
Pagi 12 Oktober 2011 aku kembali diajak nelayan panjalo ikan ke pulau. Tanpa sungkan aku terima ajakan mereka. Karena cuaca sangat bagus. Laut di hadapan tenang. Tanpa persiapan apa-apa. Baik makanan, minuman, baju ganti dan camera yang memadai. Camera hanya camera hp yang megapixelnya amat terbatas. Tidak apa. Yang jelas aku dapat membuat foto-foto yang aku inginkan.
Aku tidak mensia-siakan kesempatan.
Kesempatan untuk menyaksikan pagi hari dari arah pulau ke daratan.
Tujuan pertama adalah Pulau Anso atau Pulau Anso Duo. Jaraknya dekat dari Pantai Gandoriah. Dengan keadaan laut yang tenang, perjalanan hanya tidak lebih dari 20 menit, dengan biduk bermesin 9 pk.
Dalam perjalanan tanpa ragu, aku mengeluarkan ponsel yang memiliki camera. Langsung saja memotret ke berbagai arah.
Saat sampai di pulau, aku tidak terkira gembiranya. Aku dapat menyaksikan view yang sangat indah sekali. Memandang ke daratan, kea rah timur yang mulai menerang. Langit yang bersih dan daratan terlihat memanjang dari Utara ke Selatan. Pantai yang senantiasa kujejak jika merintang hati dan pikiran kala pagi, siang dan sore, bila aku sedang berada di kota ini.
Meskipun dengan keterbatasan kemampuan daya rekam camera ponselku, dalam situasi begini, aku sudah terobati daripada tidak bisa melakukan apa-apa.
Bagaimana tidak. Lihatlah gunung dapat kusaksikan nun di kejauhan dari arah pulau. Jejeran batang waru, ketaping dan mahoni memagar daratan di sepelangkahan pantai.
Sungguh aku seorang yang beruntung.
Seseorang yang amat menikmati keindahan alam.
Aku pagi hari dari arah pulau memandang daratan.
Ada jarak memang yang memisahkan tapi aku selalu merasa selalu satu.
Daratan memiliki dinamikanya. Laut memiliki dinamikanya juga. Begitu pulau yang dikatakan terasing sesungguhnya tidak asing.
[abrar-khairul-ikhirma-13-10-2011]
Minggu, 23 Oktober 2011
“Sang Penjaga” Sumur Nelayan
Lebaran lalu di akhir bulan Agustus dan awal September 2011, aku tidak memiliki agenda untuk bepergian kemanapun. Barangkali karena tak ada yang istimewa.Tentu saja oleh berbagai alasan juga. Akhirnya, aku memilih berlebaran di daerah kawasan pantai yakni Pantai Gandoriah. Pantai yang berdekatan dengan lokasi pasar, setasiun kereta, pemukiman dan perkantoran. Termasuk tidak begitu jauh dari “rumah singgah” tempatku bermukim pabila sampai di kota ini.
Dalam suasana lebaran itu, aku memilih dari pagi sampai malam hanya “nangkring” di pangkalan Kelompok Nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah. Aku sudah banyak mengenal teman-teman nelayan di sini. Selain itu di seberang jalannya terdapat warung kopi yang pelanggannya juga adalah para nelayan. Hal itulah yang membuatku bertambah betah untuk “nangkring” berlama-lama di sini. Di bawah kerimbunan pohon waru dan ketaping yang ditanam sepanjang pantai.
Di hari ketiga setelah lebaran, aku menyediakan diri sebagai relawan “penjaga sumur pak nelayan.” Sumur itu difungsikan untuk umum buat buang air kecil dan untuk mandi airtawar setelah mandi-mandi air laut. Ternyata banyak yang merasa terbantu dengan adanya sumur itu. Tak keberatan untuk memberikan sumbangan lebih. Padahal untuk kencing Rp.1000 per-orang dan mandi Rp.2000 per-orang. Sukarela dari pagi sampai sore untuk “menunggui” sumur itu selama sepekan. Tidak sekadar menerima uang saja bahkan acap menimbakan air untuk memandikan anak-anak pengunjung. Sampai akhir masa lebaran terkumpul uang sebanyak Rp.1.460.000,-
Sekitar akhir tahun 2010 lalu, diprakarsai sejumlah anggota kelompok nelayan, membuat sumur airtawar mengatasi kesulitan mereka mandi pabila pulang dari melaut. Sebelumnya satu dua hanya menumpang mandi di sumur-sumur penduduk sekitar. Tak jarang pula mereka lebih memilih pulang, karena sumur sering dipakai pemiliknya. Pendirian sumur murni dibiayai dan dikerjakan bersama-sama saat mereka lagi tidak melaut. Lokasi tidak jauh dari bawah pohon waru dan ketaping, arah ke pantai, dimana biasanya biduak-biduak mereka parkir sebelum dan sesudah melaut.
Meskipun kawasan ini sudah dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah, dua kelompok nelayan tetap bertahan menjadikan pantai ini sebagai pangkalan mereka pergi-pulang dari melaut. Pagi hari sejumlah kapal-kapal penangkap ikan jenis bagan bersauh tidak jauh dari pantai, membongkar hasil tangkapannya. Begitu juga, biduak –perahu—bercadik berjejer, hanya berjarak beberapa ratus meter ke arah selatan dari pentas utama pertunjukan lokasi wisata pantai ini.
Sejak sumur itu dibangun, nelayan tidak sulit lagi untuk mandi sepulang melaut. Terutama yang pulang lebih awal dapat segera mandi tanpa harus pulang dulu ke rumah mereka atau menumpang di sumur penduduk. Sebab mereka harus menunggu teman-teman mereka yang belum pulang, terkadang menunggu sampai pkl.21-22 wib malam. Menurun dan menaikkan biduak dari laut tidak bisa dilakukan sendiri. Memerlukan bantuan tenaga beberapa orang. Itulah solidaritas nelayan. Jika membantu orang lain, mereka pasti akan dibantu pula. Begitu sebaliknya.
Kondisi sumur yang dipagar seadanya selama ini dengan spanduk, kurang enak juga dipandang mata jika ada keramaian, terutama bagi pengunjung yang makan-makan di sekitar sumur, Niang Edy, Jomiang, Jang Pagai, Syaf dan beberapa nelayan lainnya secara spontan menggunakan momentum “keramaian lebaran” mendapatkan dana awali untuk biaya pemagaran. Dilihat pemakaian sumur di hari pertama dan kedua lebaran banyak yang menggunakan untuk mandi. Barulah di hari ketiga lebaran (1/9/11) dipasang tenda penutup, dan dipungut sumbangan.
Pada 5 Oktober 2011 Niang Edy dan kawan-kawan nelayan akhirnya secara gotong-royong membangun pagar sekeliling sumur dengan dana awal hasil di hari lebaran lalu. Tambahan biaya pun mengalir secara pribadi dari mereka yang sehari-hari di pantai itu. Baik nelayan, pemilik bagan, teman-teman nelayan yang suka mampir di pangkalan Kelompok Nelayan Putra Bahari. Pembangunan yang mereka lakukan sampai-sampai diberitakan di Suratkabar Harian Singgalang (13 Okt 2011).
Di hari biasa dan hari libur sumur yang dibangun nelayan ini sangat penting peranannya mendukung keberadaan objek wisata. Selama ini tidak dipungut biaya sama sekali untuk mandi. Nelayan menyadari kesulitan pengunjung atas minimnya fasilitas umum di objek wisata ini. Mereka membolehkan sumur digunakan meski seringkali banyak pengunjung meninggalkan sampah sembarangan di sekitar sumur. Sampah kemasan shampoo, sabun, pempers bayi bahkan bekas kemasan makanan. (abrar khairul ikhirma-23-10-11)
Dalam suasana lebaran itu, aku memilih dari pagi sampai malam hanya “nangkring” di pangkalan Kelompok Nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah. Aku sudah banyak mengenal teman-teman nelayan di sini. Selain itu di seberang jalannya terdapat warung kopi yang pelanggannya juga adalah para nelayan. Hal itulah yang membuatku bertambah betah untuk “nangkring” berlama-lama di sini. Di bawah kerimbunan pohon waru dan ketaping yang ditanam sepanjang pantai.
Di hari ketiga setelah lebaran, aku menyediakan diri sebagai relawan “penjaga sumur pak nelayan.” Sumur itu difungsikan untuk umum buat buang air kecil dan untuk mandi airtawar setelah mandi-mandi air laut. Ternyata banyak yang merasa terbantu dengan adanya sumur itu. Tak keberatan untuk memberikan sumbangan lebih. Padahal untuk kencing Rp.1000 per-orang dan mandi Rp.2000 per-orang. Sukarela dari pagi sampai sore untuk “menunggui” sumur itu selama sepekan. Tidak sekadar menerima uang saja bahkan acap menimbakan air untuk memandikan anak-anak pengunjung. Sampai akhir masa lebaran terkumpul uang sebanyak Rp.1.460.000,-
Sekitar akhir tahun 2010 lalu, diprakarsai sejumlah anggota kelompok nelayan, membuat sumur airtawar mengatasi kesulitan mereka mandi pabila pulang dari melaut. Sebelumnya satu dua hanya menumpang mandi di sumur-sumur penduduk sekitar. Tak jarang pula mereka lebih memilih pulang, karena sumur sering dipakai pemiliknya. Pendirian sumur murni dibiayai dan dikerjakan bersama-sama saat mereka lagi tidak melaut. Lokasi tidak jauh dari bawah pohon waru dan ketaping, arah ke pantai, dimana biasanya biduak-biduak mereka parkir sebelum dan sesudah melaut.
Meskipun kawasan ini sudah dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah, dua kelompok nelayan tetap bertahan menjadikan pantai ini sebagai pangkalan mereka pergi-pulang dari melaut. Pagi hari sejumlah kapal-kapal penangkap ikan jenis bagan bersauh tidak jauh dari pantai, membongkar hasil tangkapannya. Begitu juga, biduak –perahu—bercadik berjejer, hanya berjarak beberapa ratus meter ke arah selatan dari pentas utama pertunjukan lokasi wisata pantai ini.
Sejak sumur itu dibangun, nelayan tidak sulit lagi untuk mandi sepulang melaut. Terutama yang pulang lebih awal dapat segera mandi tanpa harus pulang dulu ke rumah mereka atau menumpang di sumur penduduk. Sebab mereka harus menunggu teman-teman mereka yang belum pulang, terkadang menunggu sampai pkl.21-22 wib malam. Menurun dan menaikkan biduak dari laut tidak bisa dilakukan sendiri. Memerlukan bantuan tenaga beberapa orang. Itulah solidaritas nelayan. Jika membantu orang lain, mereka pasti akan dibantu pula. Begitu sebaliknya.
Kondisi sumur yang dipagar seadanya selama ini dengan spanduk, kurang enak juga dipandang mata jika ada keramaian, terutama bagi pengunjung yang makan-makan di sekitar sumur, Niang Edy, Jomiang, Jang Pagai, Syaf dan beberapa nelayan lainnya secara spontan menggunakan momentum “keramaian lebaran” mendapatkan dana awali untuk biaya pemagaran. Dilihat pemakaian sumur di hari pertama dan kedua lebaran banyak yang menggunakan untuk mandi. Barulah di hari ketiga lebaran (1/9/11) dipasang tenda penutup, dan dipungut sumbangan.
Pada 5 Oktober 2011 Niang Edy dan kawan-kawan nelayan akhirnya secara gotong-royong membangun pagar sekeliling sumur dengan dana awal hasil di hari lebaran lalu. Tambahan biaya pun mengalir secara pribadi dari mereka yang sehari-hari di pantai itu. Baik nelayan, pemilik bagan, teman-teman nelayan yang suka mampir di pangkalan Kelompok Nelayan Putra Bahari. Pembangunan yang mereka lakukan sampai-sampai diberitakan di Suratkabar Harian Singgalang (13 Okt 2011).
Di hari biasa dan hari libur sumur yang dibangun nelayan ini sangat penting peranannya mendukung keberadaan objek wisata. Selama ini tidak dipungut biaya sama sekali untuk mandi. Nelayan menyadari kesulitan pengunjung atas minimnya fasilitas umum di objek wisata ini. Mereka membolehkan sumur digunakan meski seringkali banyak pengunjung meninggalkan sampah sembarangan di sekitar sumur. Sampah kemasan shampoo, sabun, pempers bayi bahkan bekas kemasan makanan. (abrar khairul ikhirma-23-10-11)
Sabtu, 22 Oktober 2011
Nareh : Petang di Setasiun Kecil
Tadi petang (19/10/11) aku sengaja mendatangi tempat ini, Setasiun Nareh.
Sejak lama aku sudah berniat untuk menjenguk “sisa masa lalu” itu tapi selalu saja tidak kesampaian. Padahal akhir-akhir ini aku sudah beberapakali ke Nareh. Baru kali inilah kesampaian keinginanku itu.
Nareh [dituliskan oleh pemerintah dengan Naras tapi aku lebih memilih untuk menuliskannya sesuai dengan aslinya, Nareh]. Peng-indonesia-an nama daerah ini telah menghilangkan spesifik dan perobahan pelafaz-an, jelas akan merobah arti dan nuansanya.
Di Nareh terdapat sebuah setasiun kecil, merupakan salah satu setasiun kereta api di Sumatera Barat. Sampai kini masih terdapat bangunan setasiun, gudang, rumah, buatan zaman Belanda. Meskipun tidak terawat dengan baik, namun kesan kekokohannya masih menyisakan betapa pentingnya setasiun ini di masa lalu, di dalam membuka akses ke pedalaman Pariaman dan sekitarnya.
Setasiun Nareh merupakan jalur paling ujung dari jalur kereta api Padang-Pariaman. Setelah era transportasi berkembang dengan jalur mobil angkutan umum, otomatis perlahan mematikan trayek kereta api cukup lama. Seiring selesainya pembangunan jalan by-pass Lubuk Aluang-Simpang Ampek, yang melintasi Nareh.
Petang di Setasiun Nareh suasananya sepi.
Aku bagaikan disapa masa lalu yang kini tenggelam dalam perjalanan zaman.
Setasiun Nareh yang berada di bagian arah Utara Kota Pariaman ini masih memiliki harapan untuk dihidupkan kembali. Konon kabarnya akan diteruskan jalur menuju Pasaman Barat, jalur yang tak kesampaian di zaman Belanda dulu.
Di era akhir Presiden RI Soeharto, terbukanya daerah Pasaman Barat dengan perkebunan sawit, telah meningkatkan perkembangan daerah secara cepat. Sekaitan hasil perkebunan sawit dan keinginan untuk menghidupkan jalur kereta api lagi maka, Setasiun Nareh akhirnya difungsikan lagi sebagai sarana pemuatan pengangkut minyak sawit ke pelabuhan Teluk Bayur. Namun hal itu pun tidak berlangsung lama, karena lengsernya Soeharto, perusahaan sawit yang berkait dengan “keluarga Cendana” mengalami perubahan kebijakan. Setasiun Nareh kembali “mati.”
Sejak itu sampai sekarang Setasiun Nareh tidak lagi dimasuki kereta. Setasiun ini bagaikan bernasib tinggal kenangan saja lagi. Dimana setasiun yang pernah dikunjungi kereta sejak era “Mak-Itam” sampai ke zaman “Mak Uniang.” Dari kereta api berbahan batubara sampai ke mesin bertenaga diesel.
Tidak ada suara-suara yang menunjukkan adanya kehidupan di sini, saat aku mengelilingi setasiun kecuali satu dua orang kulihat di rumah depan setasiun tengah “bersunyi-sunyi.” Aku menyaksikan ada bagian bangunan yang kurang terawat, terutama ada atap genteng yang sudah tidak ada lagi di tempatnya, rel kereta dipenuhi rerumputan, sungguh menyedihkan.
Ketika aku asyik memotret beberapa sudut pengambilan setasiun, dengan hanya mengandalkan camera ponsel yang amat terbatas, aku dapat berjumpa dengan seorang lelaki pensiunan kereta api yakni Pak Darwis asal Lubuak Aluang yang menikah dengan perempuan asal Nareh dan anaknya, yang kini masih menjaga setasiun . Cukup lama kami bercakap-cakap di depan peron yang memang tidak ada atapnya.
Sayang cuaca menjadi cepat mendung, karena akan turun hujan, membuat kemampuan camera tidak maksimal. Akhirnya aku bergegas kembali menuju arah pusat kota.
Meskipun sudah tercapai tujuanku, aku sebenarnya belum puas, tersebab belum sepenuhnya menikmati suasana yang kuinginkan. Mendapatkan gambar-gambar dari berbagai sudut, yang mewakili suasana yang dipendam Setasiun Nareh. Biarlah dalam kesempatan lain aku bisa datang lagi dan memotret dengan baik, juga dengan camera yang lebih memadai. (abrar-khairul-ikhirma-19-10-11)
Sejak lama aku sudah berniat untuk menjenguk “sisa masa lalu” itu tapi selalu saja tidak kesampaian. Padahal akhir-akhir ini aku sudah beberapakali ke Nareh. Baru kali inilah kesampaian keinginanku itu.
Nareh [dituliskan oleh pemerintah dengan Naras tapi aku lebih memilih untuk menuliskannya sesuai dengan aslinya, Nareh]. Peng-indonesia-an nama daerah ini telah menghilangkan spesifik dan perobahan pelafaz-an, jelas akan merobah arti dan nuansanya.
Di Nareh terdapat sebuah setasiun kecil, merupakan salah satu setasiun kereta api di Sumatera Barat. Sampai kini masih terdapat bangunan setasiun, gudang, rumah, buatan zaman Belanda. Meskipun tidak terawat dengan baik, namun kesan kekokohannya masih menyisakan betapa pentingnya setasiun ini di masa lalu, di dalam membuka akses ke pedalaman Pariaman dan sekitarnya.
Setasiun Nareh merupakan jalur paling ujung dari jalur kereta api Padang-Pariaman. Setelah era transportasi berkembang dengan jalur mobil angkutan umum, otomatis perlahan mematikan trayek kereta api cukup lama. Seiring selesainya pembangunan jalan by-pass Lubuk Aluang-Simpang Ampek, yang melintasi Nareh.
Petang di Setasiun Nareh suasananya sepi.
Aku bagaikan disapa masa lalu yang kini tenggelam dalam perjalanan zaman.
Setasiun Nareh yang berada di bagian arah Utara Kota Pariaman ini masih memiliki harapan untuk dihidupkan kembali. Konon kabarnya akan diteruskan jalur menuju Pasaman Barat, jalur yang tak kesampaian di zaman Belanda dulu.
Di era akhir Presiden RI Soeharto, terbukanya daerah Pasaman Barat dengan perkebunan sawit, telah meningkatkan perkembangan daerah secara cepat. Sekaitan hasil perkebunan sawit dan keinginan untuk menghidupkan jalur kereta api lagi maka, Setasiun Nareh akhirnya difungsikan lagi sebagai sarana pemuatan pengangkut minyak sawit ke pelabuhan Teluk Bayur. Namun hal itu pun tidak berlangsung lama, karena lengsernya Soeharto, perusahaan sawit yang berkait dengan “keluarga Cendana” mengalami perubahan kebijakan. Setasiun Nareh kembali “mati.”
Sejak itu sampai sekarang Setasiun Nareh tidak lagi dimasuki kereta. Setasiun ini bagaikan bernasib tinggal kenangan saja lagi. Dimana setasiun yang pernah dikunjungi kereta sejak era “Mak-Itam” sampai ke zaman “Mak Uniang.” Dari kereta api berbahan batubara sampai ke mesin bertenaga diesel.
Tidak ada suara-suara yang menunjukkan adanya kehidupan di sini, saat aku mengelilingi setasiun kecuali satu dua orang kulihat di rumah depan setasiun tengah “bersunyi-sunyi.” Aku menyaksikan ada bagian bangunan yang kurang terawat, terutama ada atap genteng yang sudah tidak ada lagi di tempatnya, rel kereta dipenuhi rerumputan, sungguh menyedihkan.
Ketika aku asyik memotret beberapa sudut pengambilan setasiun, dengan hanya mengandalkan camera ponsel yang amat terbatas, aku dapat berjumpa dengan seorang lelaki pensiunan kereta api yakni Pak Darwis asal Lubuak Aluang yang menikah dengan perempuan asal Nareh dan anaknya, yang kini masih menjaga setasiun . Cukup lama kami bercakap-cakap di depan peron yang memang tidak ada atapnya.
Sayang cuaca menjadi cepat mendung, karena akan turun hujan, membuat kemampuan camera tidak maksimal. Akhirnya aku bergegas kembali menuju arah pusat kota.
Meskipun sudah tercapai tujuanku, aku sebenarnya belum puas, tersebab belum sepenuhnya menikmati suasana yang kuinginkan. Mendapatkan gambar-gambar dari berbagai sudut, yang mewakili suasana yang dipendam Setasiun Nareh. Biarlah dalam kesempatan lain aku bisa datang lagi dan memotret dengan baik, juga dengan camera yang lebih memadai. (abrar-khairul-ikhirma-19-10-11)
Surau Padusunan
Surau Padusunan, Kenagarian IV Angkek Padusunan, Pariaman, terletak di kaki lereng perbukitan, kini masih terawat, viewnya saat dikunjungi masih terhampar persawahan di depannya...
Jumat, 21 Oktober 2011
Ula Gadang Kanai Tangkok
Gara-gara ular memakan seekor anjing yang sedang berburu babi di hari Selasa 18/10/11, akhirnya beliau tak berdaya saat ditangkap beramai-ramai oleh peserta buru-babi itu di Pucuang Anam, Kenagarian Tandikek, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman.
Menurut keterangan penduduk setempat, “anjing paburu” yang mengalami nasib naas itu, baru 20 hari dibeli tuannya yang memiliki hobi berburu babi. Dengan kejadian itu, Sang Tuan, ketika mengetahui anjingnya bukannya menangkap babi tapi malahan ditangkap sang ular, tentu antara sedih dan kesal. Dia gagal ikutserta mendapatkan babi sekaligus juga kehilangan anjing kesayangannya.
Menanggapi hal demikian, pihak “tuan rumah” yang menyelenggarakan alek buru-babi langsung beramai-ramai menangkap sang ular. Menurut salah seorang pemburu setempat di lokasi dimana ular diamankan, mereka harus “mengeluarkan” ular itu demi menunjukkan tanggungjawab pihak penyelenggara. Jika tidak, tentu akan berindikasi, orang luar tidak akan mau lagi datang jika diundang menjadi peserta buru babi di daerahnya.
Ular Candai disebut namanya oleh masyarakat adalah jenis ular phyton. Ular yang ditangkap sepanjang 7 meter itu dibawa ke pemukiman di pinggir jalan, dibuatkan kandangnya berupa peti. Entah anjing yang naas, entah ular yang lagi sial, yang jelas saat pagi tadi Kamis, 19-10-11 pukul 10.15 wib datang ke tempat ular diamankan, ternyata saat dibuka petinya oleh penduduk setempat, sang ular akhirnya menebus kesalahannya dengan menemui hal yang sama dengan anjing yang dimangsanya. Ular itu akhirnya mati. (abrar khairul ikhirma/19/10/11)
Menurut keterangan penduduk setempat, “anjing paburu” yang mengalami nasib naas itu, baru 20 hari dibeli tuannya yang memiliki hobi berburu babi. Dengan kejadian itu, Sang Tuan, ketika mengetahui anjingnya bukannya menangkap babi tapi malahan ditangkap sang ular, tentu antara sedih dan kesal. Dia gagal ikutserta mendapatkan babi sekaligus juga kehilangan anjing kesayangannya.
Menanggapi hal demikian, pihak “tuan rumah” yang menyelenggarakan alek buru-babi langsung beramai-ramai menangkap sang ular. Menurut salah seorang pemburu setempat di lokasi dimana ular diamankan, mereka harus “mengeluarkan” ular itu demi menunjukkan tanggungjawab pihak penyelenggara. Jika tidak, tentu akan berindikasi, orang luar tidak akan mau lagi datang jika diundang menjadi peserta buru babi di daerahnya.
Ular Candai disebut namanya oleh masyarakat adalah jenis ular phyton. Ular yang ditangkap sepanjang 7 meter itu dibawa ke pemukiman di pinggir jalan, dibuatkan kandangnya berupa peti. Entah anjing yang naas, entah ular yang lagi sial, yang jelas saat pagi tadi Kamis, 19-10-11 pukul 10.15 wib datang ke tempat ular diamankan, ternyata saat dibuka petinya oleh penduduk setempat, sang ular akhirnya menebus kesalahannya dengan menemui hal yang sama dengan anjing yang dimangsanya. Ular itu akhirnya mati. (abrar khairul ikhirma/19/10/11)
Ke Surau Mudiak Padang
AKU datang tidak pada waktu yang tepat. Cuaca menjelang tengah hari tadi 19/10/11 di Tandikek kurang bersahabat. Di langit mendung membuat tirai dengan matahari sehingga, cahaya kelihatan memburam. Otomatis ada nuansa pemotretan dengan kapasitas camera sangat terbatas, menjadi suatu ancaman. Kualitas gambar bertambah kurang bagus. Apa boleh buat. Aku sudah berada di Tandikek di dalam keadaan begitu.
Beberapa kali ke Tandikek sampai ke Cumanak, baik saat hangat-hangatnya penanganan bencana Gempa 30 September 2009, maupun setelah bencana berlalu melewati hitungan tahun. Namun tak sempat aku untuk mampir melihat bangunan Surau Mudiak Padang, yang tidak jauh dari Balai Nagari Tandikek.
Surau Mudiak Padang adalah salah satu surau tua. Surau yang memiliki arti penting dalam syiar keagamaan di daerah ini. Terletak di tengah areal persawahan dan serasa dekat saja, dikepung oleh latar pemandangan Gunuang Tigo dan Gunuang Singgalang. Udara yang sejuk dan tanah yang subur, menjadi ikatan lain memberikan semangat pertanian bagi penduduk setempat untuk bercocok-tanam. Demikian juga spirit spiritual yang kental.
Arsitektur bangunan dan usianya sungguh membuat aku menganggap bangunan ini penting diselamatkan. Bahkan kalau memungkinkan, pemerintah dan masyarakat menjadikan radius tertentu di kawasan sekitar areal surau, menjadi lahan pertanian heritage. Lahan yang tidak boleh dibangun tapi didorong agar setiap tahun untuk digarap menanam padi atau palawija. Tentu saja dilindungi undang-undang dan kesepakatan penuh dari segala unsure terutama masyarakat nagari setempat.
Bagi masyarakat Pariaman arah “lawuik” di daratan rendah atau ke arah barat dari Nagari Tandikek, menyebut Nagari Tandikek dengan “Mudiak Padang.” Ada yang berpendapat, konon nama Mudiak Padang mereka katakan tersebab masyarakat yang bermukim di daratan rendah, daerahnya Tandikek berposisi atau terletak setelah Nagari Padang Sago. Posisi demikian mereka sebut adalah “mudiak” atau ke “atasnya.” Jadi Mudiak Padang adalah daerah mudiak dari Padang Sago. Kini secara administrative pemerintahan, Nagari Tandikek masuk dalam wilayah Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman.
Seingatku, Surau Mudiak Padang adalah tempat “pengajian” sejak dulu-dulunya, tempat orang-orang yang ingin memperdalam ilmu dan kehidupan keagamaan Islam. Surau ini juga memiliki peranan besar dalam masa perjuangan melawan penjajahan. Surau Mudiak Padang (konon) didirikan Syech Muhammad Yatim. Makamnya terletak tidak berapa jauh dari surau, tepatnya ke arah lawuik atau arah baratnya. Tetapi aku tadi tidak sempat untuk melihat langsung ke makam beliau.
Surau Mudiak Padang di waktu Gempa 30 September 2009 lalu mengalami kerusakan serius. Konon surau ini telah dijadikan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah. Tadi saat aku mengunjungi, sedang berjalan renovasi surau. Tampaknya memang dilakukan renovasi dikembalikan sebagaimana aslinya. Mudah-mudahan tidak menyimpang seperti dijumpai di bangunan-bangunan surau, contohnya bangunan Surau Kuraitaji di wilayah Pariaman Selatan, Kota Pariaman yang saya lihat, sangat jauh dari bentuk asli sebelum terkena gempa.
Begitu juga, amat disayangkan, bangunan Surau Mudiak Padang di depannya terhalang bangunan yang sama sekali merusak keberadaan arsitektur yakni bangunan untuk pesantren ??? Kalau memang Surau Mudiak Padang merupakan cagar budaya, semestinya bangunan itu dipindahkan ke lokasi lain yang masih berkait dengan surau tapi tidak merusak keberadaan surau itu sendiri. (abrar khairul ikhirma-19-10-2011)
Beberapa kali ke Tandikek sampai ke Cumanak, baik saat hangat-hangatnya penanganan bencana Gempa 30 September 2009, maupun setelah bencana berlalu melewati hitungan tahun. Namun tak sempat aku untuk mampir melihat bangunan Surau Mudiak Padang, yang tidak jauh dari Balai Nagari Tandikek.
Surau Mudiak Padang adalah salah satu surau tua. Surau yang memiliki arti penting dalam syiar keagamaan di daerah ini. Terletak di tengah areal persawahan dan serasa dekat saja, dikepung oleh latar pemandangan Gunuang Tigo dan Gunuang Singgalang. Udara yang sejuk dan tanah yang subur, menjadi ikatan lain memberikan semangat pertanian bagi penduduk setempat untuk bercocok-tanam. Demikian juga spirit spiritual yang kental.
Arsitektur bangunan dan usianya sungguh membuat aku menganggap bangunan ini penting diselamatkan. Bahkan kalau memungkinkan, pemerintah dan masyarakat menjadikan radius tertentu di kawasan sekitar areal surau, menjadi lahan pertanian heritage. Lahan yang tidak boleh dibangun tapi didorong agar setiap tahun untuk digarap menanam padi atau palawija. Tentu saja dilindungi undang-undang dan kesepakatan penuh dari segala unsure terutama masyarakat nagari setempat.
Bagi masyarakat Pariaman arah “lawuik” di daratan rendah atau ke arah barat dari Nagari Tandikek, menyebut Nagari Tandikek dengan “Mudiak Padang.” Ada yang berpendapat, konon nama Mudiak Padang mereka katakan tersebab masyarakat yang bermukim di daratan rendah, daerahnya Tandikek berposisi atau terletak setelah Nagari Padang Sago. Posisi demikian mereka sebut adalah “mudiak” atau ke “atasnya.” Jadi Mudiak Padang adalah daerah mudiak dari Padang Sago. Kini secara administrative pemerintahan, Nagari Tandikek masuk dalam wilayah Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman.
Seingatku, Surau Mudiak Padang adalah tempat “pengajian” sejak dulu-dulunya, tempat orang-orang yang ingin memperdalam ilmu dan kehidupan keagamaan Islam. Surau ini juga memiliki peranan besar dalam masa perjuangan melawan penjajahan. Surau Mudiak Padang (konon) didirikan Syech Muhammad Yatim. Makamnya terletak tidak berapa jauh dari surau, tepatnya ke arah lawuik atau arah baratnya. Tetapi aku tadi tidak sempat untuk melihat langsung ke makam beliau.
Surau Mudiak Padang di waktu Gempa 30 September 2009 lalu mengalami kerusakan serius. Konon surau ini telah dijadikan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah. Tadi saat aku mengunjungi, sedang berjalan renovasi surau. Tampaknya memang dilakukan renovasi dikembalikan sebagaimana aslinya. Mudah-mudahan tidak menyimpang seperti dijumpai di bangunan-bangunan surau, contohnya bangunan Surau Kuraitaji di wilayah Pariaman Selatan, Kota Pariaman yang saya lihat, sangat jauh dari bentuk asli sebelum terkena gempa.
Begitu juga, amat disayangkan, bangunan Surau Mudiak Padang di depannya terhalang bangunan yang sama sekali merusak keberadaan arsitektur yakni bangunan untuk pesantren ??? Kalau memang Surau Mudiak Padang merupakan cagar budaya, semestinya bangunan itu dipindahkan ke lokasi lain yang masih berkait dengan surau tapi tidak merusak keberadaan surau itu sendiri. (abrar khairul ikhirma-19-10-2011)
Rabu, 19 Oktober 2011
Surau Pauh
Surau Pauh, Kenagarian V Koto Air Pampan, Pariaman, terletak di dekat rel kereta api Pariaman-Nareh. Papa saya sering melaksanakan sholat Jum'at di sini, apalagi saat beliau menjadi Wali Nagari Aia Pampan.
Minggu, 16 Oktober 2011
Kota Pariaman: Orang Gila mulai Meresahkan
Padang Ekspres Berita Sosial Sabtu, 13/06/2009 - 10:08 WIB Yurisman Malalak 10770 klik http://padang-today.com/?mod=berita&today=detil&id=6882
Orang gila diamankan akhir-akhir ini semakin banyak saja ditemui penderita gangguan jiwa atau orang gila berkeliaran di sekitar kawasan pusat Kota Pariaman. Pantauan Padang Ekspres (Grup Padang Today) beberapa waktu lalu, orang gila tersebut sering berkeliaran di jalan utama seperti di Simpang Tabuik, atau Simpang Kampuang Cino Pariaman dan di sekitar pusat perbelanjaan Kota Pariaman.
Tidak saja siang hari, malam hari penderita gangguang jiwa tersebut juga terlihat mondar-mandir tak tentu arah dan berbicara sendiri malam hari. Ada yang mangkal di kawasan Tugu Tabuik Pariaman dan di emperan toko. Yang mengkhawatirkan, orang gila tersebut belakangan terasa mulai mengganggu kenyamanan warga.
Kenyataan itu tidak ditampik Abrar Khairul Ikhirma, pengamat sosial dan budaya di Kota Pariaman, dalam perbincangannya beberapa waktu lalu. Abrar Khairul Ikhirma menyebutkan, kehadiran para penderita gangguan jiwa tersebut memang belum begitu menimbulkan masalah yang serius. Namun belakangan beberapa di antaranya ada yang mulai mengganggu masyarakat.
Persoalannya menurut Abrar Khairul Ikhirma, tidak semua pengidap gangguan jiwa tersebut berasal dari keluarga mampu, tapi juga ada yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu.
"Jadi itulah letak persoalannya, bagi yang berasal dari keluarga kurang mampu sebenarnya keluarga mereka menginginkan agar mereka bisa dirawat di Rumah Sakit Ulu Gadut Padang, namun persoalannya mereka terkendala masalah biaya. Menurut informasi biaya perawatan selama di rumah sakit perbulannya hampir mencapai Rp3 juta," ucapnya.
Ia berharap agar pihak terkait di lingkungan Pemko Pariaman melakukan langkah- langkah untuk mengantisipasi persoalan tersebut.
"Mungkin bisa saja mereka ditertibkan, tapi jangan sampai di situ saja. Tujuannya bagaimana mengembalikan mereka kepada pihak keluarga masing-masing. Mungkin bisa bekerjasama dengan pemerintah desa atau kelurahan," usulnya.
Atau bisa saja dicarikan solusi lain, sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan perawatan semestinya di RSJ.
Kepala Dinas Sosial Pemko Pariaman Basyarauddin menyebut, kehadiran para penderita gangguan jiwa tersebut bisa saja berdampak terhadap citra Kota Pariaman.
"Karena itulah dalam rapat koordinasi kita telah mengusulkan agar ditanggulangi secara baik, terutama oleh Dinas Kesehatan. Mungkin saja di antara mereka ada yang cukup hanya diberikan obat, sehingga tidak seluruhnya yang mesti dikirim ke RSJ Gadut karena biayanya yang cukup besar," katanya.
Basyarauddin menyebut, kehadiran orang gila tersebut bisa berdampak timbulnya permasalahan sosial di tengah masyarakat kalau tidak ditanggulangi. (*)
Orang gila diamankan akhir-akhir ini semakin banyak saja ditemui penderita gangguan jiwa atau orang gila berkeliaran di sekitar kawasan pusat Kota Pariaman. Pantauan Padang Ekspres (Grup Padang Today) beberapa waktu lalu, orang gila tersebut sering berkeliaran di jalan utama seperti di Simpang Tabuik, atau Simpang Kampuang Cino Pariaman dan di sekitar pusat perbelanjaan Kota Pariaman.
Tidak saja siang hari, malam hari penderita gangguang jiwa tersebut juga terlihat mondar-mandir tak tentu arah dan berbicara sendiri malam hari. Ada yang mangkal di kawasan Tugu Tabuik Pariaman dan di emperan toko. Yang mengkhawatirkan, orang gila tersebut belakangan terasa mulai mengganggu kenyamanan warga.
Kenyataan itu tidak ditampik Abrar Khairul Ikhirma, pengamat sosial dan budaya di Kota Pariaman, dalam perbincangannya beberapa waktu lalu. Abrar Khairul Ikhirma menyebutkan, kehadiran para penderita gangguan jiwa tersebut memang belum begitu menimbulkan masalah yang serius. Namun belakangan beberapa di antaranya ada yang mulai mengganggu masyarakat.
Persoalannya menurut Abrar Khairul Ikhirma, tidak semua pengidap gangguan jiwa tersebut berasal dari keluarga mampu, tapi juga ada yang berasal dari kalangan keluarga tidak mampu.
"Jadi itulah letak persoalannya, bagi yang berasal dari keluarga kurang mampu sebenarnya keluarga mereka menginginkan agar mereka bisa dirawat di Rumah Sakit Ulu Gadut Padang, namun persoalannya mereka terkendala masalah biaya. Menurut informasi biaya perawatan selama di rumah sakit perbulannya hampir mencapai Rp3 juta," ucapnya.
Ia berharap agar pihak terkait di lingkungan Pemko Pariaman melakukan langkah- langkah untuk mengantisipasi persoalan tersebut.
"Mungkin bisa saja mereka ditertibkan, tapi jangan sampai di situ saja. Tujuannya bagaimana mengembalikan mereka kepada pihak keluarga masing-masing. Mungkin bisa bekerjasama dengan pemerintah desa atau kelurahan," usulnya.
Atau bisa saja dicarikan solusi lain, sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan perawatan semestinya di RSJ.
Kepala Dinas Sosial Pemko Pariaman Basyarauddin menyebut, kehadiran para penderita gangguan jiwa tersebut bisa saja berdampak terhadap citra Kota Pariaman.
"Karena itulah dalam rapat koordinasi kita telah mengusulkan agar ditanggulangi secara baik, terutama oleh Dinas Kesehatan. Mungkin saja di antara mereka ada yang cukup hanya diberikan obat, sehingga tidak seluruhnya yang mesti dikirim ke RSJ Gadut karena biayanya yang cukup besar," katanya.
Basyarauddin menyebut, kehadiran orang gila tersebut bisa berdampak timbulnya permasalahan sosial di tengah masyarakat kalau tidak ditanggulangi. (*)
Sabtu, 15 Oktober 2011
Jika Lagi Bulan Tarang
KALAU sudah masuk “bulan tarang” ikan akan sulit ditemukan di pasar local. Otomatis ikan laut mengalami pelonjakan harga, selain saat-saat cuaca tidak baik, akibatnya nelayan enggan untuk melaut. Ikan kering (ikan asin) dan ikan darat harga jualnya menjadi tinggi.
Para nelayan mengenal dua musim yakni “bulan tarang” dan “hari kalam.” Pada hari kalam adalah saat-saat kapal jenis “bagan” melakukan penangkapan. Karena di hari kalam, ikan-ikan akan mudah keluar ke permukaan, jika melihat cahaya lampu yang terang benderang dari bagan. Tidak mengherankan dari satu bagan penangkap ikan saja, bisa menghasilkan berkeranjang-keranjang ikan setiap malamnya. Apalagi kalau lagi musim ikan “melimpah-ruah” sampai-sampai pasaran ikan jatuh di harga “sangat” murah bahkan sampai membusuk karena ketiadaan es.
Lain dengan saat bulan tarang. Dimana bulan muncul di langit malam sampai memuncak ke saat “bulan purnama,” yang disebut juga dengan “bulan empatbelas.” Kapal-kapal penangkap ikan jenis bagan mayoritas “meliburkan diri” pergi melaut. Karena pada saat bulan tarang, ikan enggan untuk muncul ke permukaan meski diundang dengan menyalakan lelampuan bagan yang terang benderang. Jika melaut pun juga hanya akan merugi. Bisa tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dan waktu yang dihabiskan.
Saat bulan tarang, kapal-kapal bagan akan buang jangkar tidak jauh dari pulau. Ditunggui oleh satu dua orang yang tidur di bagan untuk berjaga-jaga, kalau-kalau datang perubahan cuaca yang dapat merusak kapal mereka. Sementara anak-anak bagan turun ke darat. Biasanya mereka akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Itulah saat untuk mereka untuk berlibur dari kegiatan bekerja berangkat siang-pulang pagi setiap hari.
Waktu bagan tidak melaut di bulan tarang tidak selalu kapal bagan akan buang jangkar di dekat pulau. Banyak waktu bulan tarang inilah kesempatan untuk memperbaiki dan merawat bagan. Biasanya bagi bagan Pariaman memilih untuk berangkat ke kawasan pelabuhan Bungus atau teluk-teluk sekitarnya. Selain menghindarkan resiko terkena badai, mereka juga akan melakukan perbaikan kapal bagan.
Di kawasan sekitar pelabuhan Bungus kapal-kapal bagan akanmudah melakukan perbaikan. Selain dapat berlindung dari serangan badai, juga lokasi pantainya memadai. Saat terjadinya pasang gadang, bagan dapat untuk mencapai bagian tertinggi dari pantai. Setelah berada di pantai, saat pasang susut, kapal bagan akan terparkir di atas pasir di daratan. Itulah cara kapal bagan naik dok.
Saat bulan tarang juga digunakan untuk melakukan perbaikan alat tangkap mereka. Yang memperbaiki adalah anak-anak bagan sendiri semisal memperbaiki wariang. Wariang adalah berupa tangguak besar, terbuat dari nylon seperti kawat nyamuk atau ayakan pasir. Biasanya mereka akan mengerjakan di lokasi pantai, dimana biasanya bagan mereka berlabuh dan menurunkan hasil tangkap setiap hari.
Menyaksikan anak-anak bagan memperbaiki wariang di pantai, adalah suatu pemandangan yang menarik. Saling bekerjasama meski di bawah terik matahari. Karena itu juga saya selalu berusaha mendapatkan momen-momen bagus untuk membuat foto-foto yang tidak sekadar dokumentasi tapi juga mengandung informasi.
Karenanya, saya tidak akan segan mendekat ke tempat kesibukan para anak bagan yang mengerjakan wariang, dan ah langsung saja camera saya mengabadikannya. Kadangkala juga bercakap-cakap selain bertegur sapa. Padahal panas terik matahari benar-benar akan menambah hitam kulit tubuh saya. Namun saya tidak peduli. Soalnya karena sesuatu kegiatan menarik bagi saya. Kali ini saya berkesempatan di bulan tarang ini mendapatkan momen yang sangat saya senangi. Dua hari ini (13-14/10) memang di Pantai Gandoriah anak bagan itu menghabiskan waktu tidak melaut mereka untuk berbenah sambil menunggu masuk hari kalam, atau waktu mereka untuk kembali berangkat, bekerja sebagai penangkap ikan. Dari siang ke malam dan pulang di pagi hari.
Para nelayan mengenal dua musim yakni “bulan tarang” dan “hari kalam.” Pada hari kalam adalah saat-saat kapal jenis “bagan” melakukan penangkapan. Karena di hari kalam, ikan-ikan akan mudah keluar ke permukaan, jika melihat cahaya lampu yang terang benderang dari bagan. Tidak mengherankan dari satu bagan penangkap ikan saja, bisa menghasilkan berkeranjang-keranjang ikan setiap malamnya. Apalagi kalau lagi musim ikan “melimpah-ruah” sampai-sampai pasaran ikan jatuh di harga “sangat” murah bahkan sampai membusuk karena ketiadaan es.
Lain dengan saat bulan tarang. Dimana bulan muncul di langit malam sampai memuncak ke saat “bulan purnama,” yang disebut juga dengan “bulan empatbelas.” Kapal-kapal penangkap ikan jenis bagan mayoritas “meliburkan diri” pergi melaut. Karena pada saat bulan tarang, ikan enggan untuk muncul ke permukaan meski diundang dengan menyalakan lelampuan bagan yang terang benderang. Jika melaut pun juga hanya akan merugi. Bisa tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan dan waktu yang dihabiskan.
Saat bulan tarang, kapal-kapal bagan akan buang jangkar tidak jauh dari pulau. Ditunggui oleh satu dua orang yang tidur di bagan untuk berjaga-jaga, kalau-kalau datang perubahan cuaca yang dapat merusak kapal mereka. Sementara anak-anak bagan turun ke darat. Biasanya mereka akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Itulah saat untuk mereka untuk berlibur dari kegiatan bekerja berangkat siang-pulang pagi setiap hari.
Waktu bagan tidak melaut di bulan tarang tidak selalu kapal bagan akan buang jangkar di dekat pulau. Banyak waktu bulan tarang inilah kesempatan untuk memperbaiki dan merawat bagan. Biasanya bagi bagan Pariaman memilih untuk berangkat ke kawasan pelabuhan Bungus atau teluk-teluk sekitarnya. Selain menghindarkan resiko terkena badai, mereka juga akan melakukan perbaikan kapal bagan.
Di kawasan sekitar pelabuhan Bungus kapal-kapal bagan akanmudah melakukan perbaikan. Selain dapat berlindung dari serangan badai, juga lokasi pantainya memadai. Saat terjadinya pasang gadang, bagan dapat untuk mencapai bagian tertinggi dari pantai. Setelah berada di pantai, saat pasang susut, kapal bagan akan terparkir di atas pasir di daratan. Itulah cara kapal bagan naik dok.
Saat bulan tarang juga digunakan untuk melakukan perbaikan alat tangkap mereka. Yang memperbaiki adalah anak-anak bagan sendiri semisal memperbaiki wariang. Wariang adalah berupa tangguak besar, terbuat dari nylon seperti kawat nyamuk atau ayakan pasir. Biasanya mereka akan mengerjakan di lokasi pantai, dimana biasanya bagan mereka berlabuh dan menurunkan hasil tangkap setiap hari.
Menyaksikan anak-anak bagan memperbaiki wariang di pantai, adalah suatu pemandangan yang menarik. Saling bekerjasama meski di bawah terik matahari. Karena itu juga saya selalu berusaha mendapatkan momen-momen bagus untuk membuat foto-foto yang tidak sekadar dokumentasi tapi juga mengandung informasi.
Karenanya, saya tidak akan segan mendekat ke tempat kesibukan para anak bagan yang mengerjakan wariang, dan ah langsung saja camera saya mengabadikannya. Kadangkala juga bercakap-cakap selain bertegur sapa. Padahal panas terik matahari benar-benar akan menambah hitam kulit tubuh saya. Namun saya tidak peduli. Soalnya karena sesuatu kegiatan menarik bagi saya. Kali ini saya berkesempatan di bulan tarang ini mendapatkan momen yang sangat saya senangi. Dua hari ini (13-14/10) memang di Pantai Gandoriah anak bagan itu menghabiskan waktu tidak melaut mereka untuk berbenah sambil menunggu masuk hari kalam, atau waktu mereka untuk kembali berangkat, bekerja sebagai penangkap ikan. Dari siang ke malam dan pulang di pagi hari.
Langganan:
Postingan (Atom)