Gagasan atau ide tidak hanya
tersimpan dalam angan-angan. Kini menetas, sayapnya telah keluar dari
kepompong. Sanggupkah ia terbang?
Nazeka Kanasidena,
mencetuskan satu ide dari sebuah status media social fesbook di wall pribadinya. Status itu membuka ruang kepada
masyarakat pertemanan akunnya, untuk dapat berpartisipasi, sukarela, tidak
sayembara, tidak berharap “imbalan” kecuali berupa kesan apresiasi, melalui
“kotak” comentar di bawah status yang dipostingnya, medio akhir tahun 2017.
Nazeka, memberikan sebuah tajuk, “Antara Hujan dan Airmata.” Status bernada “jemputan” itu kiranya
mendapatkan tanggapan baik. Tajuk demikian “ditanggapi” di kotak comentar. Silih
berganti comentar berdatangan berupa puisi terupdate
dari berbagai pemilik akun fb, terutama dari Malaysia.
Sepintas, demikian mudah “memancing” seseorang (pemilik akun
fb) untuk dapat menuliskan hal puitis sesuai tajuk yang dikemukakan di media
sosial. Tidak. Dibutuhkan luasnya pertemanan dan persamaan pandangan mewujudkan
sebuah ide yang dikemukakan. Masyarakat media social terdiri dari berbagai
lapisan dan latarbelakang tidak sama.
Padahal yang semacam itu, jauh lebih sulit daripada sekadar
ber “say” dan “helo,” ataupun mengklik “like.”
Seperti kebiasaan paling mudah dilakukan dalam pertemanan dunia fb, sebagai
satu “bentuk” penanda kehadiran “keterhubungan” atau pun “penunjuk” bahwa apa
yang ditulis dan diposting seseorang tidak dianggap “angin lalu.”
Kesulitan yang dimaksudkan ialah, bagaimana “menggiring”
kesadaran kreatif, intuisi dan ide, dari banyak orang, agar menuju titik yang
sama yakni, “berhalatuju” kepada
perihal “hujan dan airmata.”
Itupun bila dicermati tidak pula langsung mengarah pada
“hujan” dan “airmata” karena ada satu kata memulakannya yaitu, “antara.” Dapat diartikan, ada wilayah
atau ada ruang yang “terdapat,
menghubungkan, menjadi jarak, membatasi” keduanya. Tepatnya bersifat
“makna,” dia ada tapi tak terlihat, tak terlihat tapi disadari suatu kenyataan.
Pada wilayah seni kreatif sastra, itulah sisi-sisi yang
seringkali “disentuh” oleh sastrawan untuk dipresentasikan kepada
kepenulisannya. Terlihat sederhana tapi adalah hal luarbiasa. Luarbiasa tapi
dapat disederhanakannya.
Sastrawan yang (dimaksudkan) memahami kedudukan sastra dan
mengikuti pergulatan kreatif dalam “membahasakan” suatu karya. Wilayah yang
tidak semua orang dapat “meraihnya,” tidak semua orang yang tahu dapat
“menjangkaunya.” Keluasan pandangan, kepiawaian berbahasa, ketekunan
menjinakkan inspirasi, sungguh suatu hal menentukan pada sebuah karya serupa
itu.
Meminta memasuki “wilayah” antara keduanya, tidak semua
orang mungkin dapat “mencapainya” ataupun “menjelajahi” hingga kemudian
“menuliskannya” dengan baik. Tidak verbal. Tidak sekadar sebuah potret. Tidak hanya
berupa barisan kata datar dan hambar.
Sama seperti gambaran umum ketika dikatakan antara “hitam” dan “putih.” Diantaranya “dipahami” sebagai suatu bahagian filosofi
merupakan wilayah “abu-abu.” Wilayah
sulit diterka tapi mengandung dinamika
kreatif setiap orang untuk mempelajarinya, membuat kesimpulan dan
memahaminya.
Dalam bahasa politik praktis, “abu-abu” ialah wilayah yang
tak dapat “dikuasai” namun ada kemungkinan “dipengaruhi.” Ditanggapi hanya akan
menghabiskan enersi. Diabaikan “berbahaya” jika tidak diwaspadai. Sebab
“sesuatu” dapat terjadi. Diluar perhitungan, sulit diprediksi.
Dalam kehidupan social manusia dikenal istilah “ya” dan
“tidak.” Ketika seseorang menggunakan comitmen dirinya antara ya dan tidak,
disimpulkan orang tersebut adalah manusia ragu, manusia penuh kebimbangan.
Tidak memiliki pendirian diri. Mudah menjadi ya. Tidak sukar untuk tidak.
Hakikatnya, tidak dapat mengambil suatu keputusan. Setuju atau menolak.
Sedangkan pada tataran kepenulisan sastra, daerah abu-abu,
merupakan tantangan kreatif “menterjemahkan” hingga “menuliskannya,” dalam
mencapai karya-karya sastra “membukakan mata” dan “mencerdaskan” pembacanya,
untuk mendorong menjadikannya sebagai salahsatu sumber “inspiratif” bagi banyak
orang.
Zubir Osman,
adalah nama Nazeka Kanasidena. Putra kelahiran dari Pulau Omadai, Semporna,
Sabah, Malaysia, 21 April 1970. Diketahui beliau adalah seorang cikgu/guru sekolah formal. Selain
bekerja sebagai tenaga pendidik, ia “berkesinambungan” memposting karya-karya
fotonya di wall media sosialnya.
Objek fotonya sebahagian besar menggambarkan “kehidupan”
kepulauan dan kawasan pesisir pantai. Baik alam maupun manusianya. Karya-karya
berunsurkan fotografienya “melintasi” beranda fb saya. Memulakan saya
“mengenal” seorang Zubir Osman yang kemudian merubah nama akun fbnya dengan
Nazeka Kanasidena.
Secara periodic, selain karya foto, Nazeka selalu menyertai
dengan teks tulisan. Terutama berkaitan perihal sejarah dan budaya “orang
laut.” Saya akui tidak semua tulisan yang pernah dipostingnya saya baca. Selain
saya mengalami “masalah” membaca, juga tidak memiliki waktu sepenuhnya untuk
“membaca.” Karenanya saya lebih “memperhatikan” karya-karya fotonya dari sudut
artistic dan pemilihan objek.
Setelah menerima permintaan pertemanan dari Nazeka, akun
fbnya masuk ke dalam list-pertemanan fb-saya, sejak itu setidaknya, saya
“mengenal” pergulatannya dalam merespon perjalanan sejarah, budaya dan “kedukaannya”
menyaksikan, sekaligus merasakan “peristiwa” demi peristiwa, leluhur, manusia
dan tanah air “digerus zaman.”
Kemudian kami bertemu pertamakali sama-sama menghadiri “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala
Lumpur. Ia menghadiahkan buku kumpulan puisi pertamanya, “Iltizam,” (namanya
dicantumkan pada buku, Zubir Osman) terbitan ITBM-Pena, 2015. Terbaca di
belakang cover depan, tertulis; “…aku
harus jadi sang pemula, demi margaku, pengembara benua.”
Ketika Nazeka Kanasidena atau Zubir Osman membentangkan idenya
“menjemput” masyarakat (teman-teman) media social untuk menuliskan puisi
“Antara Hujan dan Airmata,” saya “memakluminya” sebagai suatu “tindakan”
menghidupkan dunia kreatif sastra.
Termakluminya mengingat perhatian Nazeka kepada hal sejarah
dan budaya, termasuk merekam dinamika di sekelilingnya selama ini, wajar dia
tergerak hati mencetuskan ide, untuk bersama menulis perihal Hujan dan Airmata.
Tidak mungkin seseorang “berani” memiliki perhatian kepada hal-hal esensial
tanpa didasari oleh “basic” yang kuat.
Ramai beberapa tahun ini “menggunakan” media social untuk
“berhimpun” tapi “keramaian” itu “megah” dan “gagah” hanya lebih banyak bersifat
“kehebohan” dan sekelas “pesta.” Saya kira, Nazeka tidak berada di sana. Mensiasati
perkembangan teknologi internet, menjadi “wadah” atau “taman” untuk
“membahasakan” persoalan universal manusia terhadap dua hal yakni Hujan dan
Airmata.
Secara harfiah, hujan penunjuk kepada alam. Membawa symbol
kesuburan. Airmata bahagian “khas” dari perasaan, keterharuan, kesedihan dan
rasa sakit. Sewaktu-waktu dialami oleh semua manusia, termasuk makhluk lainnya.
Hujan dan airmata dapat dilihat secara berbeda. Sendiri-sendiri.
Tetapi pabila dua kata itu dirangkaikan, membawa pada alam tafsir yang lebih
luas lagi. Karenanya sanggupkah terungkap di dalam larik-larik puisi yang
“dihantarkan” di kotak comen status Nazeka?
Ramainya tanggapan, ditandai dengan kehadiran puisi-puisi
yang ditulis dan dimasukkan ke dalam kotak comen, bagi saya, itu sebuah
perhatian luarbiasa. Membuktikan antara keduanya, baik hujan dan airmata adalah
bahagian dari “kodrat” hidup tak terpisahkan. Hal tidak asing lagi dan erat
pada kehidupan masing-masing personal si pengirim puisi.
Setelah dipublish di ruang media public media social, akan
dikemanakan puisi-puisi itu?
Setiap puisi tidak terbuang dan tersia-sia. Sebagai sebuah
karya, puisi itu setidaknya sudah ada yang membacanya lebih dari satu orang.
Termasuk Nazeka sendiri pun, selain mengcopy, ia pun juga memberikan pandangan
singkat terhadap puisi. Bahkan juga perbualan singkat, saling berkomunikasi dua
arah.
Nazeka Kanasidena tidak “berjanji” tetapi ia pun tak ingin
sampai hanya dipublish di media social saja. Puisi-puisi itu akan diupayakannya
lahir ke dalam sebentuk buku antologi. Di awal mula status pengantar idenya,
Nazeka pun telah “membayangkan” pabila ada “keberkatan” ia akan membawa serta
puisi-puisi yang dikirimkan keluar dari fesbook dan menjelmakan sebuah buku
antologi.
Menjelang tidur disuatu malam, di bulan November, sebagai
perintang-rintang hari, saya merancang sebuah cover, “sumbangan” pabila buku
“impian” itu akan berwujud. Desainnya belumlah finish. Langsung diposting. Tujuan utama hanya sebagai
“penyemangat” dalam meramaikan kiriman puisi. Karena tidak request daripada Nazeka, hanya partisipasi dari saya, desain
tersebut tidaklah mengikat. Tidak “meminta” agar sayalah “tukang” buat cover.
Tidak pula “berharap” desain saya digunakan sebagai cover.
Dari satu rancang cover, akhirnya menjadi tiga desain. Tidak
hanya Nazeka “terkesima” tapi sejumlah pengirim puisi di status Nazeka
menyambut baik rancang cover yang saya rancang. Syukurlah. Tetapi pabila ada
yang lebih baik, datang dari pihak lain, saya bersetuju. Itu jauh lebih elok.
Saya menyukai memberikan “laluan” kepada orang.
Adapun terhadap “rancangan”
menghimpunkan puisi-puisi ke sebentuk buku antologi puisi, sesungguhnya lagi
“trend” pada dunia sastra. Baik di Indonesia maupun di Malaysia. Terutama sejak
adanya “kemudahan” menghubungkan satu sama lain melalui media social.
Judul dan
tajuknya diakui tidak ada yang tidak “gagah” dan tidak “cantik.” Semuanya gagah
dan cantik. Tetapi apakah gagah dan cantik suatu “jaminan” bahwa isi yang
terkandung pada setiap buku, merupakan karya-karya berkualitas dan “bernilai”
sastra” (?) Entahlah.
Dengan ramainya puisi berdatangan
ke kotak comentar status Nazeka, apakah otomatis puisi-puisi itu termuat ke
dalam buku antologi?
Pertanyaan ini bagi saya tidak
bermaksud “menyalakan” yang satu dan “memadamkan” yang lain. Dunia buku
sekarang ini berkembang pesat diterbitkan. Sementara seiringkah kepesatan
kemajuan penerbitan dengan kualitas isi buku dan buku itu sendiri memang jatuh
ke tangan orang “membutuhkan.” Membutuhkan bahan bacaan (?). Biasanya yang
butuh, sudah pasti “membeli” dan bersedia “menyimpan” dengan baik. Menjadi
referensi kelak kemudian hari.
Jika jawaban tidak ada
“keharusan” setiap puisi disertakan ke dalam buku, berarti isi buku merupakan
kandungan puisi-puisi yang telah melewati “tahap” seleksi. Tahap seleksi pun
perlu dipertanyakan. Menurut kualitas puisi? Menurut nama seseorang yang
menulis puisi? Ataukah menurut dari mana asalnya atau keterhubungannya?
Kemudian juga ketebalan buku yang
ditentukan jumlah halaman. Biasanya apabila berupa antologi, seringkali
terlihat adalah buku tebal. Ada 1000 penulis. 1000 puisinya “dipaksa” masuk ke
dalam satu buku. Ada banyak buku-buku semacam ini terbit, lebih bersifat tidak
sebagai himpunan puisi terpilih tapi “terjebak” menjadi buku dokumentasi puisi
dari “beramai-ramai” orang dan “beramai-ramai” daerah atau Negara. Kualitasnya?
Entahlah.
Oleh sebab itulah, begitu
pentingnya criteria dan aturan-aturan, demi mencapai suatu maksud. Sepanjang
hanya “mengikuti” apa yang sudah berlangsung selama ini, serupa dengan apa yang
telah dikerjakan atau dibuat orang, tanpa ada suatu “sikap” yang jelas,
cenderung yang “dihasilkan” menjadi “biasa-biasa” saja. Akan tinggal dengan
gagah dan cantiknya saja. Seketika terlihat, sesudah itu mungkin terlupa. Sebab
akan ada yang lebih gagah dan cantik lagi menggantikannya silih berganti.
Saya sengaja tidak menulis
“Sabah” di judul tulisan ini tetapi “Semporna.” Semporna merupakan bahagian
dari Negeri Sabah, Malaysia. Semporna daerah asal Nazeka Kanasidena yang
memulakan ide untuk menulis puisi bertajuk “Antara Hujan dan Airmata.”
Dari Semporna itulah Nazeka,
sedang menghulurkan tangannya berisi “wadah sastra,” antaranya untuk
“menampung” turunnya Hujan dari langit, berderainya Airmata dari dua kelopak mata
“kreatif.” Semporna “menulis” sejarah sastra (*)
Abrar Khairul Ikhirma – rangkayoputubasa@gmail.com - From Indonesia with Love