DUNIA
kesenian adalah dunia yang sunyi. Karya-karya seni yang bernilai tinggi,
terlahir dari para seniman dalam kesunyiannya. Ia merupakan hasil dari
perjalanan hidup, perenungan dan upaya penciptaan. Seniman yang kreatif adalah
seniman yang mampu mengolah kesunyiannya menjadi karya. Karya yang kemudian
diserahkan kepada public melalui ruang media cetak – elektronik, pameran dan
pertunjukan.
|
Cover buku spesial diterbitkan di event Numera 2014 |
Dunia
sastra, juga adalah dunia sunyi. Dimana para sastrawan dalam mencipta, kala ia
merasakan kesendirian di tengah-tengah keramaian zamannya.
Tetapi karena “keterasingan”
itu jugalah para sastrawan, misalnya, dapat melihat dan mencatat
peristiwa-peristiwa kehidupan, ke dalam karya-karya mereka.
Keterasingan yang
dimaksudkan, bukan berarti tidak memiliki keterlibatan dengan apa-apa yang
kemudian mendasari karya cipta mereka lahir.
Dunia sunyi
tidak hanya dimaksudkan dalam proses penciptaan. Tetapi dalam pembicaraan ini,
lebih ditujukan sebagai penggambaran keadaan dewasa ini, bahwa dalam kemajuan
zaman, sesungguhnya dunia kesenian atau yang lebih luas lagi dunia kebudayaan,
seringkali terpinggirkan, bahkan seperti tak mendapat tempat sebagai kebutuhan
zaman.
Sepertinya…,
dunia kesenian dan kebudayaan, kalah saing dengan perkembangan ilmu teknologi,
ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat. Padahal, pada dunia tersebut
lah terjaganya suatu peradaban, kehidupan manusianya, untuk mengimbangi setiap
kemajuan yang dihasilkan.
Banyak
akibat di berbagai belahan dunia telah terjadi. Kita ketahui dan kita alami dalam
berbagai porsinya. Meninggalkan dunia dan kehidupan yang compang-camping.
Meninggalkan persoalan bagi kehidupan hari ini dan masa datang. Kerusakan,
peperangan dan kematian. Kerapuhan moralitas, kehancuran tatanan sosial dan
perusakan akan alam dan lingkungan.
Semuanya sekali lagi, bukan terjadi seketika
tapi akibat proses kemajuan dan hasil kemajuan yang dimaksudkan manusia dan
kekuasaannya itu, tidak diimbangi perkembangan kesenian dan kebudayaan yang
mengiringi tumbuhnya ilmu pengetahuan.
Albert Einstein, jenius fisika ini pada tahun 1905 berhasil
merumuskan teori relativitas yang intinya: massa dapat diubah jadi energi.
Berlandaskan teori ini, para ilmuwan lainnya mengembangkan teknologi senjata
nuklir. Meskipun sejatinya energi nuklir bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia, misalnya untuk membangkitkan energi listrik, atau untuk inovasi di
bidang kedokteran, namun sayang sejarah kelam sudah tertoreh.
Teori relativitas Einstein telah dikembangkan untuk sebuah
teknologi paling mematikan: pembuatan bom nuklir. Bom itu telah diledakkan di
Hiroshima dan Nagasaki, meluluhlantakkan kedua kota dan menewaskan 200.000 jiwa
seketika, dan puluhan ribu lainnya mati perlahan akibat radiasi nuklir. Perang
Dunia II.
Kemajuan ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan
penghancuran. Einstein sang penemu, sebenarnya tak berkehendak begitu tentunya.
Namun ada diluar dirinya kekuatan yang “memanfaatkan.” Semua akibat yang tak
terpekirakan itu, menjadikan sebagai penyesalan terbesar baginya. Penyesalan
Einstein, karena sebelumnya beliau telah menulis surat kepada Roosevelt,
ternyata akibat surat itu berbuah mimpi buruk, menghasilkan senjata mematikan
yang ada di bumi ini berkat penelitian yang disarankan oleh Einstein sendiri !
|
Di hadapan sejumlah penyair |
Peristiwa demikian, mengingatkan kita akan pengarang cerita
silat Asmaraman
Sukowati Kho Ping Hoo
(juga dieja Kho Ping Ho, Hanzi: 許平和; pinyin: XÇ” PÃnghé, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17
Agustus 1926,-- meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis
cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia.
Kho Ping Hoo dikenal
luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang
bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan.
Kho Ping Ho,
dalam salah satu dialog tokoh ceritanya di salah satu karyanya, berkata begini;
“Jangan sampai pedang ini, jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat.”
Ilmu
pengetahuan, hasil-hasil kemajuan, semestinya memang harus dicermati dan
digunakan untuk memperbaiki kehidupan manusia, bukannya sebagai alat untuk hal
sebaliknya. Makanya, seidealnya, kita selalu berharap secara lebih luas,
bagaimana kemajuan di berbagai lini tidak berada di tangan-tangan mereka yang
berwatak jahat.
Dimanapun di
permukaan bumi ini, ada banyak negara, ada banyak etnis, dimana terdapat
manusia: semuanya suatu hal yang tak dapat dipungkiri manusia adalah makhluk
sosial. Satu sama lain memiliki keterkaitan. Saling memerlukan berinteraksi. Tentu
saja paling mendasar, tak ada yang abadi bila hubungan dibangun melalui
kekerasan atau perilaku tidak baik. Hubungan satu sama lain hanya tercipta jika
saling membutuhkan, saling menghormati, saling mendorong pada hal-hal kebaikan. Semuanya pastilah dilandasi oleh
nilai-nilai kebudayaan.
Dari
berbagai definisi tentang kebudayaan, dapat disimpulkan, pengertian kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak (Wikipedia Indonesia).
Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Karya seni adalah hasil kebudayaan. Hasil-hasil kesenian,
karya seni yang diciptakan oleh para seniman, yang tidak hanya bertujuan
menggambarkan keindahan tapi dapat menjadi inspiratif semua orang, untuk bisa mendorong
penikmatnya, merenungkan betapa kehidupan merindukan keseimbangan.
Tanpa
keseimbangan, ilmu pengetahuan akan menjadi kering. Setiap kemajuan pun hanya
jalan menuju jurang kehancuran. Melahirkan “pendekar-pendekar berwatak jahat.”
Sebagaimana yang disiratkan oleh Kho Ping Hoo dalam cerita silatnya.
Hasil-hasil karya seni melatih kepekaan “alam rasa.” Alam
rasa mempengaruhi pikiran yang menggerakkan perbuatan, untuk
mempertimbangkannya. Seni yang berpengaruh dan dapat menimbulkan kecintaan,
kepada manusia dan keseimbangan hidupnya, sungguh karya seni bernilai tinggi.
Seni yang menghidupkan kebudayaan. Kebudayaan yang hidup pada manusia. Manusia
yang menjaga peradabannya dengan baik.
Sudah terbukti… sejak bergulirnya abad modernisasi, sampai
kita memasuki masa-masa milinium, kemajuan-kemajuan yang dinamakan dalam
kerangka globalisasi itu, tidak selalu diiringi oleh perilaku seimbang. Tidak
semua lapisan kita dapat menyerapnya dengan baik, bahkan hanya menelan
mentah-mentah.
Namun bukan berarti tidak kita akui, bahwa di berbagai belahan
bumi telah mulai munculnya kesadaran-kesadaran baru, peradaban yang
sesungguhnya tidak selalu bertumpu kepada terpenuhi kebutuhan lahiriah tapi
begitu pentingnya kebutuhan batiniah dalam hidup manusianya !
Kehadiran para seniman dan budayawan, bersama
kegiatan-kegiatan yang menunjang dan lahirnya karya-karya berkualitas, salah
satu bagian penting dalam mengisi roh kehidupan dunia selain landasan
keagamaan. Untuk terbangunnya kembali manusia hakiki yang beradab, dalam
mengasah, memperkaya alam rasa. Sehingga
menjadi kesatuan yang utuh satu sama lain, pikiran, rasa dan tindakan.
.
Kita selayaknya menaruh rasa hormat, kepada mereka yang
berjuang meramaikan kantung-kantung seni dan kebudayaan.
Tidak penting, oleh
siapa dan dimana. Karena menuju kebaikan bersama adalah hal yang universal.
Mendorong lahirnya semangat kreatif dan memberikan kesadaran apresiasi pada
publik bahwa kesenian dan berbudaya itu, salah satu landasan dalam membangun
dunia yang kita impikan bersama.
Menekan ketidak-seimbangan dan berusaha
menciptakan keseimbangan, demi silaturahmi antar sesama, sebagai manusia
makhluk sosial.
Keterpinggiran dan kesunyian yang dialami oleh para seniman,
budayawan, pejuang-pejuang dunia kreatifitas seni selama ini di berbagai
tempat, apakah akibat kita tak memiliki “pendobrak” keadaan atau memang
“termatikan” oleh keadaan itu sendiri.
Yang jelas terasa misalnya di dunia
sastra, seperti tak ada tempat untuk mempublikasikan karya tulis di media
cetak, tak ada penerbit bersedia mencetak ke dalam sebentuk buku, atau
sedemikian minim event-event untuk berekspresi dan mengukur pencapaian.
Ketika kehadiran teknologi media elektronik sampai di
hadapan kita, dunia internet, kita dapat menyaksikan pertumbuhan itu demikian
dahsyatnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Mereka yang mampu memanfaatkan fasilitas
sebagai media berekspresi, khususnya perihal seni dan kebudayaan, telah
berhasil membangun masyarakatnya, dari berbagai lapisan dan berbagai tempat
tanpa ada batas-batas wilayah sebagaimana adanya. Semakin menyempurnakan bahwa
seni dan kebudayaan mampu menyatukan kita semuanya.
Hampir tiap detik…, dari seniman atau tidak, entah dari mana
asalnya, entah berapa usia atau pun latar-belakang kehidupannya, meng-update
karya dan pikirannya sampai pada aktifitasnya. Tersebar kemana-mana dengan
mudah. Tak mustahil, ada puisi berkualitas justru ditulis oleh penyairnya saat
berada di toilet.
Pertumbuhan karya dan penyair seperti itu, pada akhirnya
menciptakan event-event atau gagasan-gagasan untuk ke depannya. Munculnya
pertemuan-pertemuan sastrawan, pertunjukan-pertunjukan seni dan kantung-kantung
forum dan diskusi. Tentu saja kesemua itu untuk saling menunjang dan
menghidupkan aktifitas kebudayaan kita agar tak selalu terpinggirkan dalam
kesunyiannya. Diantara gegap gempita kemajuan-kemajuan pembangunan, ekonomi dan
politik yang kini tengah berkibarnya.
Itulah sebabnya, saya selalu gembira dan menaruh hormat, setiap
munculnya event-event yang diselenggarakan di berbagai tempat, yang diketahui
melalui media publikasi, berkait seni dan kebudayaan. Meski pun selalu kalah
dengan event-event besar lainnya dalam mencuri perhatian public, namun
kehadirannya adalah penting, ketimbang tidak berbuat apa-apa. Masih ada upaya,
masih ada usaha, untuk mensiasati situasi yang terjadi dan terus terjadi.
Karena itu jugalah, ketika mengikuti publikasi aktifitas
Numera di jejaring sosial, juga saya sambut dengan gembira. Berharap dapat
menjadi salah satu alternative agar para penyair dan karyanya tidak terbenam
dalam kesunyian. Mereka butuh silaturahmi dan dialog, selain berkutat menyerap
dan berkarya.
Sebagai tanda menyambut gembira, dalam sejumlah kali saya
berpartisipasi dengan mengirimkan update melalui jejaring sosial, ucapan dan
harapan-harapan yang universal kepada aktifitas Numera tanpa memandang hal
perbedaan. Lebih kepada bahwa setiap dunia kreatifitas perlu dibangkitkan, agar
dunia tidak sunyi dari kegiatan seni dan budaya dalam menjaga keseimbangan
kemajuan.
Lewat event seni dan budaya itu, kita selalu berharap
semangat kesenian dan kebudayaan tetap terjaga dengan baik. Dimana ada
bakat-bakat baru bertumbuhan, ada berbagai macam karya hadir, dan dimana dengan
sendirinya, dapat terjadi seperti membaca sebuah buku. Ada bagian penting yang
perlu digaris-bawahi. Yakni lahirnya karya-karya yang mampu memberikan
pencerahan bagi kehidupan.
Terimakasih.
Abrar
Khairul Ikhirma
Dari
Tanah Pesisir
Ranah
Minangkabau
2014