DALAM peta, nama Pulau Gosong tercantum bernama Pulau Bando. Pulau kecil lebih kurang 2,5 hektar ini terletak di lepas Pantai Pariaman. Merupakan pulau paling terluar dari 5 pulau yang kini termasuk dalam wilayah Kota Pariaman. Pulau Gosong bukanlah pulau yang tertutup untuk masyarakat umum tapi nyaris tak pernah dikunjungi oleh masyarakat umum, meskipun perjalanan laut dengan biduk bercadik bermesin 9.0 pk, saat cuaca dalam keadaan baik, memakan waktu perjalanan 2,5 setengah jam saja dari Pantai Pariaman.
Dulu saya sudah pernah menjejak Pulau Gosong. Beberapa tahun ini ingin sekali menjejaknya kembali. Namun keinginan itu terpendam saja, karena tidak memiliki kesempatan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini dalam sejumlah kesempatan pernah pergi bersama nelayan penangkap ikan, siang atau pun malam hari, dengan lokasi sekitar Pulau Gosong, dimana para nelayan setempat menyebut kawasan tangkap itu sebagai “laman gosong” maksudnya halaman Pulau Gosong. Tapi sekalipun tak terwujud selama bepergian melaut untuk singgah ke Pulau Gosong. Jadi selama itu hanya dapat memandang dari jauh saja jika sore hari dari atas biduk. Memandang ombak yang bergulung memecah di karang-karang sekitar pulau yang jauh dari pantainya.
Menurut rencana keberangkatan ke Pulau Gosong, pada hari Jum’at 26/10, sesudah pelaksanaan sholat Iedhul Adha. Karena cuaca buruk, hari hujan dan laut berarus deras, rencana menjadi batal. Akhirnya hari Selasa, 30/10 lalu, saya dapat menuju Pulau Gosong.
Bertolak dengan sebuah perahu bercadik milik nelayan penangkap ikan, biduk sepanjang 7 meter dan lebar 80 cm, bermesin 9.0 pk, pada pukul 9.00 wib pagi. Sinar matahari memang agak meredup tapi kelihatannya laut sangat tenang. Ombak di pantai biasanya besar namun saat pagi itu sangat jinak dan ramah mengantarkan keberangkatan.
Saya beruntung, diajak oleh saudara Azwar, seorang yang dulunya pernah cukup lama hidup sebagai anak buah kapal bagan di perairan Bengkulu dan ikut kapal tonda Pariaman. Azwar, anak Kampuang Perak, dalam sejak usia remaja sudah dikenal sebagai “tukang tasa” yang piawai di dalam atraksi “gandang tabuik,” kesenian tradisi masyarakat Pariaman. Selain piawai memainkan alat music tasa, Azwar terampil membuat “gandang.” Ada saja datang pesanan kepada beliau untuk membuatkan perangkat alat music tradisionil itu padanya, dari kalangan masyarakat atau organisasi, bahkan dari kalangan perantau.
Azwar sebenarnya dalam 15 tahun terakhir ini dikenal sebagai generasi spesialis penerus “pembuat tabuik” Pariaman. Profesi yang diperlukan dan termasuk langka dalam menjaga nilai-nilai tradisi terutama dari tahun ke tahun. Tahun 2012 ini, Azwar kembali dipercaya niniak-mamak kenagarian Pasa untuk mengerjakan pembuatan Tabuik Pasa, yang prosesi resminya baru dimulai 15 November mendatang.
Kali ini pembuatan Tabuik Pasa menjadi terasa istimewa, karena Azwar, lebih awal sudah memulai mempersiapkan sejumlah bahan baku, kendati prosesi resmi masih beberapa pekan lagi. Untuk mendapatkan “tonggak puncak” dan “tonggak gomaik” bahagian terpenting di bangunan Tabuik, Azwar khusus mengambilnya dari Pulau Gosong. Soalnya “urek gantuang” batang Jawi-jawi di pulau ini cukup banyak dan sudah berumur tua. Untuk kebutuhan “tonggak puncak” selain memiliki kekuatan juga mesti memiliki daya lentur. Soalnya ia berada di ketinggian dan memiliki resiko jika Tabuik dihoyak. Azwar membawa anggotanya yakni Ajo Muti, Amaik dan Zul yang sekaligus menjadi “tungganai” pembawa biduk.
Laut selama perjalanan cukup tenang. Boleh dikata kami seperti melayari danau. Nyaris alunnya kecil. 2,5 jam kemudian kami mendekati Pulau Gosong. Kami belum terlambat. Pasang baru akan mulai turun. Biduk masuk melalui “labung” satu-satunya rongga karang seukuran biduk dan itupun hanya beberapa meter. Mesin sudah dimatikan. Satu dua turun ke atas karang, lalu menuntun biduk lebih kurang 15 – 20 meter lagi agar sampai mencapai pasir pantai pulau.
Pulau Gosong tanpa penghuni. Namun akan ada saja satu dua orang nelayan yang mampir ke sini dan bermalam sewaktu-waktu. Terutama jika tiba-tiba cuaca buruk dan gelombang laut mengganas. Namun tidak semua nelayan yang memiliki keberanian untuk ke Gosong. Pulau ini jika tak mengenalnya baik siang atau malam, terutama saat gelombang laut besar, bisa berbahaya untuk keselamatan biduk. Bisa-bisa biduk dihempaskan ke karang. Sudah banyak biduk nelayan yang pecah di sini dan sudah banyak pula nelayan sampai 2 - 3 hari terkurung sendirian di pulau ini.
Sekeliling pulau dihampari karang yang cukup lebar. Hanya satu pintu masuk untuk mendekati pantainya. Itupun kecil seukuran biduk dan berbentuk rengkahan karang dan tidak pula mulus langsung ke pantai. Ombak seringkali dalam gulungan besar, apalagi ketika musim angin selatan atau pun barat. Namun pulau ini merupakan alternative yang mau tidak mau harus sebagai tempat penyelamatan jika laut bergolak siang atau malam bagi nelayan yang melaut di sekitar “laman gosong,” kawasan laut dalam. Menurut informasi, sehabis hamparan karang sekeliling pulau, kedalaman laut bisa mencapai 150 meter sampai 250 meter. Di bagian arah tenggaranya, malah terdapat dinding karang yang curam.
Di pulau ini setentang “labung” pintu masuk biduk, diantara pepohonan kelapa dan kerimbunan didirikan sebuah pondok kecil beratapkan rumbia. Pondok itu hanya berdinding seadanya dan ada di sudutnya berlantai kayu untuk dijadikan tempat tidur, untuk muat 2 atau 3 orang saja. Di pondok inilah kerap nelayan yang terkurung atau memang sengaja singgah untuk bermalam. Seperti biasanya, di pondok ini ada panci, kuali, juga sedikit kayu bakar untuk memasak. Biasanya nelayan yang melaut ke arah Gosong, selalu membawa persediaan beras untuk ditanak di pulau ini jika terjadi emergency.
Di bagian selatan pulau, tempat ombak kerap dengan gelombang tinggi memecah, pada malam hari selalu akan ada suara perempuan yang menjerit-jerit minta tolong. Atau dekat pondok hanya berjarak 25 meter terdapat rumpun batang jawi-jawi, pernah ada yang dipindahkan tidur dalam pondok ke batang jawi-jawi itu. Jika tengah malam sewaktu-waktu dari arah batang jawi-jawi itu, terdengar ada suara orang sedang mengaji. Kalau di darat pernah mendengar orang membaca Al-Quran, tidak akan pernah sehebat suara yang terdengar membaca Al-Quran di pulau ini. Atau tiba-tiba saja terdengar suara Azan. Padahal dari pandangan mata saja pantai bisa hilang kalau berkabut.
Di bagian tengah agak ke selatan pulau, terdapat rumpun batang jawi-jawi. Akar gantungnya sangat banyak, terbilang rapat mencapai 8 sampai 10 meter dari permukaan tanah. Dari tiga rumpun pohon jawi-jawi, inilah yang besar dan dahannya melebar sampai mencapai 10 – 15 meter dari pohon utamanya. Sangat rindang. Menurut sejumlah nelayan yang pernah terkurung bermalam di pulau ini, di rumpun jawi-jawi di tengah pulau ini, setiap malam akan terdengar suara pertunjukan music. Selalu ada saja seperti acara pesta.
Di rumpun jawi-jawi yang di tengah pulau inilah Azwar dan anggotanya mengambil “urek gantuang” untuk keperluan Tabuik. Sebelum pengambilan Ajo Muti membaca do’a memohon izin untuk mengambil kayu itu dan memohon diberi keselamatan. Pengambilan harus melakukan memanjat ke atas dahan setinggi 8 – 9 meter untuk memotongnya. Dan harus bersusah payah mengeluarkan dari akar-akar yang cukup rapat.
Sementara Azwar dan kawan-kawan bekerja, saya sendirian menuju jalan diantara semak belukar ke arah belakang pulau. Tidak jauh setelah meninggalkan rumpun pohon jawi-jawi di tengah itu, saya menemukan sumur tanah diantara semak belukar. Itulah sumber air tawar satu-satunya jika berada di pulau ini. Sewaktu-waktu sumur ini bisa kering dan bisa pula rasa tawar berubah menjadi asin. Menjelang mencapai bibir pantai bagian belakang pulau yang menghadap laut lepas samudera Hindia, dari jauh saya melihat ada rumpun pohon jawi-jawi lagi. Cuma akar gantungnya yang mencecah tanah belum seberapa banyak.
Setelah berada di pantai belakang pulau, saya dapat menyaksikan ke selatan pulau, di kejauhan di tubir karang, ombak bergulung cukup besar. Bunyi hempasannya memang mengandung nada yang menakutkan. Sempat bergidik bulu di kuduk dan tangan. Terlihat hamparan karang yang maha luas, dan pasang sudah turun. Pantainya sangat bersih dan tidak ada pepohonan yang rebah ke laut dihantam abrasi. Hanya saja tanah pulau seperti berdinding setinggi 1 sampai 2 meter, lalu baru hamparan pantai dan air laut semata kaki. Sendirian saya mengelilingi pulau. Mengingat hari sudah mendekati pukul 12.00 tengah hari, saya buru-buru untuk dapat mencapai pondok kecil dimana tempat awal kedatangan tadi.
Kebetulan saat kedatangan kami ke Pulau Gosong, ada seorang pekerja yang sudah 3 hari bermalam di pulau sendirian. Beliau bekerja memetik buah kelapa, lalu mengolahnya menjadi kopra. Kabarnya beliau menerima upah untuk pekerjaannya itu dari orang yang mengontrak ke pemilik pulau.
Beliau mempekerjakan 2 ekor beruk (monyet) sebagai pemetiknya. Katanya ia tidak masak nasi, hanya membakar ikan yang dipancingnya dan memakan daging kelapa muda. Baginya hal-hal aneh yang sering terjadi pada malam hari, dianggap angin lalu saja. Kalau dia mau tidur, ia tidur saja. Dia tidak peduli apa yang dilihat dan didengarnya saat berada di pulau itu.
2 jam berada di Pulau Gosong, kami harus buru-buru meninggalkan untuk segera pulang ke pantai lagi. Tanda-tanda cuaca akan berubah sudah ada. Suara hempasan ombak sudah keras dari arah belakang pulau dan suara guntur di langit yang mulai agak meredup berbunyi berurutan. Setelah satu jam perjalanan, kami disiram hujan untuk beberapa menit. Arah daratan sudah tak kelihatan karena hujan dan ketiga pulau agak dekat ke pantai Pulau Kasiak, Pulau Angso, Pulau Tangah dan Pulau Ujuang juga tak terlihat. Untung saja gelombang laut tidak ada, laut tetap seperti kami berangkat tadi. Tenang dan biduk melaju kencang. Masih sempat kami makan siang di atas biduk.
Ketika mendekati lorong antara Pulau Angso dan Pulau Tangah, hujan berhenti. Cahaya matahari kembali menerang. Pantai Pariaman sudah kelihatan. Alhamdulillah sampai di pantai ombak pun masih kecil gulungan dan hempasannya, sehingga memudahkan pendaratan. Namun dalam hati saya, masih tersimpan niat suatu saat ingin kembali menjejak Pulau Gosong dan bermalam agak semalam dua malam. Memancing, memasak, makan, tidur dan menikmati suasana magis yang selalu diceritakan mereka yang pernah terkurung di pulau itu. (abrar khairul ikhirma 30/10/2012)
* tulisan ini sudah dipublikasikan di SINGGALANG MINGGU, 11 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar