Pengamen
di Sumatera Barat identik dengan satu-dua laki-laki muda berpakaian kumuh,
menenteng gitar kusam. Jika bernyanyi suara asal kena, lagunya juga asal kena.
Penampilan senantiasa tak mengundang simpatik. Selesai menyanyi di hadapan
orang, menyodorkan bekas kantong permen agar dimasukkan uang recehan. Pemberi
uang receh itu bukan pertanda suka penampilan, suara, denting gitar sang
pengamen. Lebih banyak, itu satu cara untuk “mengusir” dari hadapan mereka.
Tapi tidak dengan lelaki “nyentrik” yang berasal dari Danguang-danguang, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat bernama Mak Syawal. Di hari lebaran lalu, tepatnya 31 Agustus 2011, saat saya memantau aktifitas objek wisata Pantai Gandoriah, Pariaman, selama lebaran, ia menjadi pusat perhatian banyak pengunjung. Penampilannya nyetrik, berkostum pemain randai –drama tradisionil Minang—ia mampu memukau pengunjung untuk menyaksikan atraksi yang disuguhkannya. Ia mampu membuat orang menghentikan langkah mereka sejenak yang “wara-wiri” sepanjang pantai, tertegun dan berkerubung.
Terutama pengunjung lebaran yang berasal dari luar daerah, mereka pulang dari rantau, seperti mendapat suguhan setetes air di padang yang tandus. Betapa tidak, selama ini dimana-mana kehidupan mereka hanya dipenuhi hingar-bingar music modern. Kerinduan mereka akan suara bansi dan dendang pantun yang disuarakan dengan suara yang khas, seakan terobati dengan suguhan Mak Syawal. Walaupun anak-anak mereka yang tidak akrab dengan seni tradisi Minang, otomatis saja tertarik untuk terpukau, karena mereka memang berdarah Minang meskipun lahir dan besar di perantauan. Rindu akan sesuatu yang “kampong halaman” suatu hal yang tak dapat dipungkiri banyak orang. Demikian yang tergambar dari wajah-wajah mereka yang menyaksikan penampilan Mak Syawal.
Kemunculan Mak Syawal di objek wisata Pantai Gandoriah saat lebaran bukan atas undangan. Tetapi atas kehendaknya sendiri yang ingin mempertunjukkan keahliannya dan menarik simpati untuk memberinya atas hal yang dinikmati dari penampilannya. Ternyata Mak Syawal salah satu yang nyaris tak terperhatikan oleh pihak berkompenten.
Orang semacam Mak Syawal inilah yang sesungguhnya memberi arti keramaian yang berlangsung di tepi pantai itu. Bukan “acara” yang mereka (pemerintah) katakan sebagai hiburan di sebuah panggung yang kumuh, lokasi penonton yang semrawut oleh pedagang dan hingar-bingar soundsistem yang beradu kencang dengan tempat permainan anak-anak dan kedai-kedai di sekitarnya. Sebab konon pemerintah setempat mengklaim diri mereka mengadakan “Pesta Pantai” di objek wisata ini selama lebaran. Tentunya memiliki kepanitiaan untuk pengaturan, keamanan dan salah satunya menyelenggarakan hiburan. Sebagai salah seorang pengunjung kok saya tak merasa kegiatan ini terkelola meskipun seperti biasanya acara seperti ini selalu dipenuhi dengan jumlah panitia yang “berjubel.”
Kalau banyak pedagang dan pengunjung yang memenuhi areal tidak bisa dijadikan tolok-ukur oleh pemerintah. Karena dari tahun ke tahun, diadakan atau tidak yang namanya Pesta Pantai, masyarakat local setempat sudah memiliki tradisi untuk beramai-ramai “bermain ombak” di pantai, semenjak berhasil dirintis oleh almarhum Bupati Padangpariaman Anas Malik, apalagi lokasinya berdekatan dengan pasar dan mudah diakses.
Mengapa dapat dikatakan tak terkelola ???
Pedagang tumpang tindih “merampok” areal untuk public sehingga pengunjung tak merasa nyaman. Manusia campur aduk dengan kendaraan di areal public. Begitu juga di panggung hiburan sendiri, mungkin akan lebih baik mutunya dengan penampilan di pesta perkawinan ketimbang saat lebaran di ruang publik. Baik kekuatan soundsistem, pemilihan lagu, penyanyi, apalagi berharap atraktif mengambil perhatian pengunjung, bukannya terkesan menghibur. Malahan banyak mengundang gerutuan. Nyaris apa yang mereka lakukan seperti tak dipedulikan saja. Mungkin karena sesuai pula dengan penampilan mereka yang “sekadar memenuhi kewajiban” saja.
Dengan situasi itu Mak Syawal-lah salah seorang yang berhasil menghibur pengunjung. Ia mampu menjadikan dirinya bagai mutiara di tengah keramaian manusia. Terbukti dengan hanya beberapa menit penampilannya saja, ia dapat menghasilkan usaha “ngamennya” ratusan ribu rupiah. Sedikit ia mendapatkan uang lembaran seribu rupiah apalagi recehan sama sekali tak ada dari orang-orang setiap merubungi penampilannya. Rata-rata 5 ribu, 10 ribu dan 20 ribu bahkan sering terselip lembaran uang 50 dan 100 ribu diantaranya.
Setiap selesai melakukan atraksi Mak Syawal akan beristirahat dan membiarkan para nelayan menghitung bersama-sama pemberian orang tanda simpatinya di bawah kerindangan pohon waru dan ketaping, dimana Kelompok Nelayan Putra Bahari biasanya berkumpul selama ini. Mak Syawal mudah akrab dengan para nelayan ini. Dialek “urang pikumbuah” yang kental dari Mak Syawal menjadi daya tarik para nelayan untuk bercakap-cakap. Sehingga kehadirannya bersama mereka adalah sisi lain dari menghibur.
Mak Syawal dari Danguang-danguang tidak datang sendiri. Ia membawa serta dua bocah yang dipasangkan kostum pemain randai. Kedua bocah itu adalah anak cacat bibir sumbing. Yang satu sudah menjalani operasi, sedangkan satu lagi masih sumbing. Kedua bocah itu tetap dengan kekanak-kanakannya, ia setia mengiringi lelaki tua ini kemana-mana untuk mengamen.
Kedatangan Mak Syawal ke Pantai Gandoriah bukanlah hal pertama. Sebelumnya dia juga pernah mendatangi tempat ini. Sebagaimana biasanya, kemana saja Mak Syawal mengamen ke berbagai daerah, ia selalu mendapat penghasilan lebih dari satu juta. Jadi bukan mustahil ia bisa pergi ke Jakarta sekalipun untuk mengamen, jangankan ke berbagai kota di Sumatera.
Yang menarik dari Mak Syawal dimana giginya nyaris sudah tidak ada lagi ialah idenya untuk memanfaatkan kepiawaiannya dalam menguasai seni tradisi hingga bernilai jual dan menghasilkan. Bansi adalah alat music tiup Minang terbuat dari bamboo kecil. Menghasilkan suara yang lengking. Peniup yang piawai seringkali memainkan nada menyayat dan memerihkan alam rasa.
Jika bansi dimainkan oleh peniup, biasanya akan ada yang khusus menjadi pendendang. Karena Mak Syawal tak membawa pendendang, ia memainkan hal itu sekaligus sendiri. Pada bansi dilekatkannya berupa balon yang ditiupnya terlebih dahulu hingga menggelembung. Dengan memanfaatkan angin pada balon ia melepaskan melalui lubang-lubang bansi sesuai dengan ritme lagunya. Tugasnya meniup bansi sudah digantikan balon, maka ia dapat berdendang dengan leluasa. Saat dia mau berpindah ke dendang berikutnya, ia dengan cepat meniup sang balon yang mulai kempes. Demikian terus sampai ke akhir pertunjukkannya. (abrar khairul ikhirma/01/09/2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar