NYARIS tidak jadi nonton teater !!!
Saya terbangun tidur sudah pkl 19.00 wib. Dan cek ponsel,
tak ada miscall dan pesan. Tak ada kabar apapun saat saya tidur, jadi atau
tidak teman menjemput saya, untuk sama-sama pergi nonton teater malam Senin 21
Des 2015 kemarin.
Namun saya tetap bersiap. Dan saat melihat ke depan pagar,
rupanya teman Zuraf Adi Satya
barusaja datang. Sebelumnya kami sudah berjanjian untuk dapat menonton. Dan
kami pun sempat mampir ke markas RiauBeraksi sekadar berbual lepas dan
sekadarnya saja dengan Willy Fwi yang menjadi sutradara teater.
Kemudian dilanjutkan 2 malam kemudian kami bertemu saat menikmati minum kopi di
kedai bual, kedai dadakan di depan Anjung Seni Idrus Tintin, Bandaserai.
Kedatangan ke Pekanbaru, Riau, kali ini, sama sekali tidak
berkait khusus untuk urusan kesenian. Suatu kebetulan saja, kemudian kami
berminat untuk nonton teater. Zuraf Adi teman saya yang ditemui di kota ini,
dulunya pernah di teater sekolah di SMAN 1 Padang dan Sanggar Teater Semut. Ia
memiliki keterhubungan dengan Willy yg menjadi pimpinan RiauBeraksi, kala Willy
berada di Padang, pernah berteater di bawah penyutradaraan Zuraf Adi.
Zuraf Adi yg mengenalkan saya tahun lalu, ketika beliau
mengajak saya nonton teater yg disutradarai Willy, dengan topik hutan asap.
Dimana kebetulan saya mampir ke Pekanbaru dalam suatu perjalanan pengembaraan
saya, yg kerap saya lakukan ke berbagai tempat.
Saya sendiri sudah belasan tahun tidak lagi hadir dan
berkecimpung dalam pelbagai kegiatan seni. Sudah lama tidak memasuki komunitas
kesenian. Tahun lalu suatu kebetulan saja. Dan tahun ini pun kebetulan lagi.
Terjadi dgn teman yg sama yg mengajak dan menemani, di kota yg sama, dgn group
kesenian yg sama, sutradaranya masih sama dan panggungnya jg sama di gedung yg
sama.
Dengan demikian, saya memiliki suatu keterhubungan dalam
melihat dan tetap menjaga jarak dalam mengontrol diri pada kesenian dan sesuatu
yg terjadi sebagai peristiwa. Pengalaman2 yg dapat menimbulkan kesan dan
kesimpulan-kesimpulan yg terjadi sebagai suatu catatan sekadarnya saja, sebagai
suatu kegiatan perintang-rintang hari, daripada tidak ada yg dipercakapkan.
Akhirnya, malam kemarin itu saya dapat juga pergi nonton
teater, karena ada jemputan. Alhamdulillah. Jadilah ini kali kedua saya hadir
di kegiatan semacam ini, setelah belasan tahun tidak lagi mendekat. Hanya
berdiri dari kejauhan. Kadang terlihat dan bergumam. Ada jjuga lebih banyak tak
menampak, dan terlupa begitu saja. Hampir-hampir tak menjadi perhatian
benar....
--- * ---
PERTEMUAN berbual sebelum hari H pementasan dengan sutradara
Willy Fwi, lebih karena
diajak teman Zuraf Adi Satya, ke markas RiauBeraksi malam itu. Pun saya
menyetujui ya sekadar bersilaturahmi, karena tahun lalu saya juga
berkesempatan menonton pementasannya.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti seorang Willy, pada temu
bual yang singkat itu, saya lebih banyak mendengar, karena itu salah satu dari
kebiasaan saya dengan seseorang yg sepenuhnya belum akrab.
Topik bualan ya pembicaraan ringan sekitar persiapan
pementasan RiauBeraksi dan sejumlah pernak pernik dasar diangkatnya cerita
pendek legendaris sastrawan A.A.Navis, "Robohnya Surau Kami" ke atas
panggung teater.
Sekali lagi tanpa bermaksud merendahkan Willy, orang muda
seni di Riau dewasa ini yang terus bergiat dengan RiauBeraksinya, sebenarnya
saya sudah menyimpulkan lebih awal dasar gagasan dan upaya proses kreatif yg
dilakukannya,
Dan diperkuat lagi ketika Saya hubungkan, saya mengetahui
jauh sebelumnya pasti telah terjadi diskusi Willy dgn tokoh teater dan penyair
Sumatera Barat Muhammad Ibrahim Ilyas
(Bram), saat Bram datang ke Pekanbaru, yg saya ketahui kedatangannya itu liwat
postingan fb jauh sebelumnya.
Oleh sebab itu, dengan telah memiliki kesimpulan demikian,
tidak terlalu sulit untuk menerka, dari sisi mana "masalah" yg ingin
digarapnya ke panggung teater.
Untuk mengangkat berdasarkan naskah cerpen ke dalam seni
panggung, sebenarnya bukan hal baru di dunia perteateran Indonesia. Cerpen pun
pernah divisualkan ke film seperti yg dilakukan Shopan Shopiaan dan Teguh Karya
dengan puisi.
Yang menjadi tantangan dengan cerpen Robohnya Surau Kami
ini, dimana cerpen yang pernah menghebohkan dunia sastra di zamannya, pun
pernah menjadi perhatian dgn polemik, adalah cerpen yg mengundang was-was dapat
menimbulkan kontroversi, jika salah menafsir dan memvisualkannya.
Karenanya penggarapan teater untuk sebuah pertunjukan
panggung, cerpen karya A A Navis ini memerlukan kehati-hatian dan ditantang
untuk berlaku kreatif. Hakikat cerpen tersampaikan dgn baik kepada penonton dan
menjadi daya tarik public untuk mengetahuinya.
Konsep yg dipilih Willy cukup menjanjikan sebagai tontonan
menarik. Konsep teater yg dikawinkan dgn dunia sinema. Antara pilihan naskah
dan konsep, patut kita hargai suatu pilihan kreatif. Mengingat ketersediaan
team kerja, pemain yg bersemangat dan fasilitas gedung dan panggung memadai.
Tinggal lagi sejauhmana kemampuan menggarapnya.
---**---
BIASANYA bila menonton sesuatu, sulit sekali saya bisa
diajak bicara. Biasanya pula, saya senantiasa memilih posisi untuk menyendiri.
Jika ada yg mengganggu keterdiaman itu, perasaan saya selalu tak enak dan
menyumpah dalam hati.
Namun hal sebaliknya terjadi saat menonton teater-sinema
Robohnya Surau Kami. Sepanjang pertunjukan, kami berobah dari menonton pada
niatan semula, menjadi bercakap-cakap sambil berbisik di dalam gelap.
Berbeda dgn saat kami sama2 menonton teater tahun lalu, di
tempat sama dan sutradara yg sama. Setidaknya kami terdorong untuk mengikuti
sampai akhir dan kemudian kami mendiskusikan sesuatu yg kami anggap jadi
perhatian.
Tak ditemukan "sentakan" dari tiap adegan dan
perpindahan adegan. Tata cahaya juga tiada mampu menggiring pandangan mata pada
apa yg berlangsung di atas panggung. Fungsi tata cahaya sgt penting membantu
bila permainan pemain lemah.
Pun musik kehilangan "magis" padahal pertunjukan
berada di ruang tertutup, yg artinya kesaktian musik jg dapat bangkitkan ritme
pemain turun naiknya mereka berperan dan penonton memiliki ruang untuk
menelusuri tiap gerak yg terjadi. Kesempatan untuk bermain cantik antara tata
cahaya dan musik terhadap mengisi keterbatasan pemain dalam memikat penonton
sangat besar. Sayang hal itu tak hadir.
Jadi terhadap pertunjukan itu, menurut hemat saya yg bukan
orang teater, berbisik pada teman Zuraf Adi Satya,
melihat pembagian babak demi babak sdh bagus sdh tepat, kronologisnya
jelas, membuktikan Willy Fwi
pada pertunjukan ini memiliki konsep yg jelas. Adaptasinya benar.
Hanya penyutradaraannya tidak berhasil menuturkan konsep
lewat para pemain, berikut kekuatan2 seni sebagai sebuah pertunjukan teater yg
ada tapi tak mampu memberi kekuatan sebagai tontonan yg dapat dinikmati.
Betul ucapan Willy bahwa dia tak mencetak aktor pada
pertunjukannya tapi setahu saya pemain harus didorong untuk bermain baik dan
maksimal. Tanpa itu pertunjukan tiada berhasil menyampaikan maksud dan tujuan
dari apa yg dikemuka di atas panggung.
Lalu selain konsep yg sudah dimiliki Willy, adakah sesuatu
yg menarik yg menjadi catatan buat keberlangsungan di pentas Robohnya Surau
Kami ???
---***---
PERTUNJUKAN Robohnya Surau Kami, yg diadaptasi Willy Fwi dari cerpen Sastrawan
A.A.Navis, disajikan satu kemasan teater dgn cinema. Garapan teater
disutradarai Willy, sedangkan cinema digarap Ica Sutardi.
Secara teknis sebenarnya tidaklah rumit. Pun pembagian
babaknya untuk teater yg disusun Willy sangat simple. Sayang Willy tak berhasil
menggarapnya dgn maksimal. Padahal dgn materi yg dipilih berpotensi menjadi
suatu tontonan menarik dan bisa menjadi bahan relevan dalam melihat persoalan
zaman dgn kekinian.
Mengkawinkan antara bentuk permainan pemain panggung dengan
peralihan-peralihan yang ditampilkan dilayar dari sorot proyektor, tidak
terkawinkan. Padahal 2 bentuk media tersebut tidak terpisah dan dapat saling
memukau. Itu tidak terjadi. Musik dan tatacahaya tak berkutik.
Namun saya mencatat dan berapresiasi, hasil kerja Ica
Sutardi pada cinemanya sangat bagus. Gambar terasa hidup dan permainan antar
tokoh terasa sahut menyahut, cut to cut. Pun teknis pergantian shoot dgn
menggeser gambar kiri dan kanan. Apalagi andai dilengkapi tata artistik sedikit
lagi sebagaimana hasil film kerja kreatif, bisa jempol dgn decak kagum.
Yang terasa lemah, pada bahagian akhir, diluar adegan2
situasi Haji Saleh di alam kubur, penayangann gambar2 seakan hambar dan tak
selesai. Baik pemilihan foto atau penyusunan editingnya yg tak kuat dan tak
relevan, terasa terkesan dipaksakan.
---****---
SAYA TAK DAPAT mencap pemain-pemain panggung Robohnya Surau
Kami dikatakan "lemah" dalam artian tak memiliki kemampuan untuk
memainkan peran.
Pertama-tama saya nilai, mereka bersedia untuk naik ke atas
panggung, di bawah sorot lampu dan di hadapan berpasang-pasang mata yg tertuju
pada seseorang atau pada mereka secara keseluruhan. Itu saja membutuhkan kesediaan
dan keberanian untuk memperlihatkan diri, dgn segala kelebihan dan
kekurangannya.
Saya dapat melihat, mereka sedikit dari banyak generasi muda
Riau yg mau tampil pada kehidupan panggung teater, dunia teater di Indonesia yg sdh melintasi
sejumlah generasi dgn meminjam istilah dramawan teater Indonesia WS Rendra,
teater "kemiskinan."
Sementara banyak diantara yg sedikit ini, generasi kita
cenderung tidak peduli pada diri dan lingkungan yg memberi peluang besar utk
saluran ekspresi mereka sesuai usia dan sesuai zaman di berbagai lini. Generasi
kita mayoritas jatuh ke pelukan hura2 dan penyakit2 sosial yg memiriskan
sebagai dampak dari kemajuan2 yg sampai kini sgt dielu-elukan.
Karenanya, potensi pemain apalagi masih dalam pendekatan dan
pengenalan, membutuhkan arahan untuk membuka ruang mereka menerjemahkan, apa yg
jadi persoalan dan apa yg harus mereka ekspresikan. Konsep yg sdh baik dan
kronologis sdh pas, tidak didukung penggarapan penyutradaraan sebagai yg
diharapkan. Oleh sutradara kita. Padahal terlihat di panggung mereka
"bersemangat" untuk "main"
Saya tidak melihat perbedaan pemain untuk teater realis,
teater absurd, teater dgn berbagai istilahnya. Pemain butuh
penyutradaraan. Peranan sutradara
penting. Jika pemain bergerak sendiri spontan, dialah yg menyutradarai dirinya
sendiri. Tapi kita tak cukup banyak berkemampuan demikian. Kita masih miskin
pemain. Miskin yg berminat utk seni teater. Jangankan main, menonton saja kita
masih...
..
Dalam garapan teater dgn naskah adaptasi Willy Fwi dari cerpen sastrawan
A.A.Navis kali ini, selain saya memberi
apresiasi pada hasil cinemanya Ica Sutardi, saya jg menggarisbawahi pemeran yg
mengaku sebagai tokoh "Ajo Sidi."
Andai dia digarap dgn baik, peranannya penting mengantarkan
topik naskah yg dimainkan. Kehadirannya
di bawah panggung di depan penonton sdh tepat. Dipoles vokal dan gesturenya dan
diutuhkan dgn karakter melayu riau.... wah...., dia berpeluang sebagai kekuatan
permainan panggung.
Pada malam itu sedikit kekuatannya terlihat. Ia bisa mengundang
perhatian penonton. Sayang dia tak dibantu dgn baik bersama artistik tata
cahaya dan musik di tiap ia memasuki dialog demi dialog yg diperankannya.
---******---
SEUSAI pertunjukkan
teater-cinema Robohnya Surau Kami adaptasi Willy Fwi, keluar dari gedung Anjung Seni Idrus Tintin,
turun ke altar depan, dimana juga berdiri tenda2 kegiatan pameran industri
kreatif Riau. Menuju salahsatu tenda, tenda yg disedia oleh Willy berupa kedai
untuk minum kopi, sebuah arena untuk berbual (bertemu dan bercerita) bagi siapa
saja.
Rupanya kedai ini, terasa sekali berguna bagi kalangan orang
seni dan penggemar seni. Ada tiga event festival berlangsung di Bandaserai,
yang dilaksanakan secara bersamaan. Event festival yg sdh dilaksanakan Riau
beberapatahun ini. Praktis kedai ini selalu ramai setiap malam selama festival2
berlangsung.
Kedai Bual2 ini di Bandaserai hanya insidentil. Dipindah
dari lokasi tetapnya di markas RiauBeraksi ke Bandaserai, agar ada tempat untuk
para orang kesenian minum kopi dan berbual. Jika ini dapat tumbuh dan berkembang
ke depannya, menurut saya, bukan tidak mungkin akan tumbuh pula budaya
berdiskusi untuk kemudian dapat melahirkan ide2 kreatif dan gagasan utk
mewujudkan sesuai bidang masing2 di daerah Riau.
Saya tidak begitu aktif untuk bercakap-cakap (berbual), dgn
banyak orang yg saya temui, lebih banyak mencoba menikmati suasana saja. Pun
kehadiran saya pun tidaklah dalam rangka terkait kesenian. Hanya suatu
kebetulan saja berada di Riau. Salahsatunya menyempatkan diri untuk berjumpa
dgn Zuraf, yg menetap di Pekanbaru, teman yg pernah sama2 semasa di Taman
Budaya Padang dulunya.
Zuraf Adi Satya,
jugalah yg mengajak saya utk datang ke markas RiauBeraksi dan nonton teater
Robohnya Surau Kami, yg digerakkan saudara Willy bersama kawan-kawannya.
Karena kehadiran saya tidak berkait kesenian, saya lebih
menempatkan diri hanya sebagai seorang pelancong saja. Seseorang yg pernah
kenal dan seseorang yg pernah sedikit banyak bersentuhan dgn dunia seni.
Sepulang dari Bandaserai, di rumah begitusaja berlanjut
sampai pagi percakapan saya dan Zuraf Adi. Tentu saja kami membicarakan
perbedaan antara kehidupan berkesenian yg pernah kami jumpai di thn 80-an di
Padang dgn yg kini berkembang dan terjadi di Riau, khususnya Pekanbaru.
Perbedaan itu bukan hanya tersebab daerah dan tahun tapi
juga generasi beserta zaman dengan perubahannya yg luarbiasa. Menurut saya,
ketidakpedulian tumbuh ke semua lini, akibat budaya pertemuan tidak diisi lagi
dgn suasana percakapan, diskusi atas berbagai topik, yg menciptakan hakekat
keterhubungan.
Kita pun sukar menemukan personal2 yg menjadi tokoh dalam
kehidupan, yg dapat meramaikan acuan dalam menelaah tiap problema dan dilema.
Akibatnya generasi yg bertebaran tumbuh dgn sendirinya, yg menurut istilah saya
"anak yg digadangkan ambun." Tumbuh, tumbullah. Gadang, gadanglah.
Begitu juga institusi formal dan tak formal, kehadirannya
lebih banyak dgn kesan politis. Tidak ada yg kuat dan memberikan kekuatan pada
pertumbuhan dan perkembangan. Tiap ada pemunculan, bila memang ingin menerobos,
memerlukan perjuangan berat untuk meyakinkan dan dapat tumbuh dgn keyakinan.
Karenanya, untuk menjadi pionir memang tak bisa sekadar
kekuatan kesempatan dan kekuatan fasilitas, juga perlu kekuatan untuk gigih dan
kreatif menghadapi kondisi dan situasi.
Saya dan Zuraf Adi, merasa beruntunglah generasi berkesenian
di Padang thn2 70 an dan 80 an, yg pernah memasuki kehidupan bersanggar dan
mangkal di Taman Budaya Padang, pengalaman2 berdiskusi sangatlah hidup. Aantara
senior dan yunior, tumbuh secara alamiah, meski berbeda paham, namun obrolan
dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Dan obrolan saya dgn Zuraf Adi sampai pagi di rumahnya,
seperti mengulang lagi, masa2 yg pernah ada diantara kami, seusai menonton
teater cinema Robohnya Surau Kami di Bandaserai, Kota Pekanbaru....
---*******---
Add caption |
KALAU BOLEH mengenang, sepotong riwayat khususnya teater
di Riau, saya begitu saja teringat dgn almarhum penteater dan penyair Idrus
Tintin.
Waktu-waktu dahulu, dalam sejumlah kali berkunjung ke
Pekanbaru selalu orang yg saya temui Idrus Tintin. Saya akan menunggunya di
bahagian belakang Gedung Dang Merdu yg kini di tapak gedung itu berdiri Bank
Riau yg berdampingan dgn komplek Kantor Gubernur Riau. Sebelum akhirnya pergi
ke kedai kopi dan seterusnya makan.
Kami berbeda usia yg jauh tapi merasa memiliki persahabatan.
Rasanya setiap pertemuan saya dgn beliau selalu dalam bual yg cair dan
menyenangkan. Pembicaraan pernak-pernik kesenian dan kebudayaan. Baik jumpa datang
ke Pekanbaru, atau beliau muncul di Taman Budaya Padang, pun jumpa di Taman
Ismail Jakarta.
Idrus Tintin, adalah semangat teater di Riau, semangat
berkesenian yg tak mengeluh tapi dihadapi dgn riang gembira. Kepribadiannya
terpancar liwat kegiatan Sanggar Teater Bahana yg didirikannya.
Dia menyadari kualitas tapi lebih sadar bahwa potensi harus
ditumbuhkan. Ia tetap tekun berkesenian, tetap berusaha menghidupkan teater.
Sudah tepat Pemerintah Riau mendirikan gedung megah di Bandaserai yg dinamakan
Anjung Seni Idrus Tintin.
Secara zahir penghargaan untuk dedikasi dan pengabdian
seorang Idrus Tintin menghidupkan kesenian di Riau. Tapi secara batin merupakan
suatu kehormatan untuk kehidupan kesenian hari ini dan mendatang untuk Riau.
Setelah Idrus Tintin, regenerasi teater dikenal Dasry al
Mubari. Dia selain berteater juga rajin mengirim tulisannya ke suratkabar
terbitan Padang, Sumbar. Dasry, selain berteater juga bergiat dalam dunia
sastra yakni dunia kepenyairan.
Untuk pemunculan leader2 kesenian di Riau sepertinya tak
berimbang dgn kepesatan pertumbuhan masyarakat dan pembangunan yg kini terus
berlangsung tanpa henti.
Kita akui, perhatian terhadap dunia seni dan budaya nyaris
terpinggirkan tapi tak disangkal keterpinggiran itu semestinya sudah mesti
diterobos. Kemajuan suatu kota atau daerah membutuhkan roh. Roh yg kosong akan
menimbulkan ekses ketidak seimbangan.
Bila Riau menggemakan tentang nilai2 budaya Melayu, tidakkah
pernah dilihat sekadar gema atau realitas sajakah yg terjadi baru ??? Kemudian
bila hanya terpaku dgn Melayunya saja, bukan juga suatu hal yg baik.
Tanpa dapat dipungkiri, khususnya sejumlah daerah dan di
Kota Pekanbaru, sudah sejaklama memiliki sejarahnya sendiri dgn budaya dan keterkaitan dgn Minangkabau. Lalu jg
kehadiran budaya2 etnik lainnya.
Karenanya diperlukan keterbukaan. Tanpa itu,
deraan budaya moderen akan melenggang bebas merasuki kehidupan perkotaannya dgn
semakin bercampur manusia dan kepentingan yg beragam di Riau.
Dan kehidupan teater hanya sebahagian kecil saja tapi dari
sebahagian kecil itu jangan biarkan terbunuh di Riau !!!
---********----
SETELAH IDRUS TINTIN Tintin dan Dasry al Mubari, penghidup
teater Riau kini seakan tersambung, dengan kehadiran RiauBeraksi dgn sutradara
penuh harapan Willy Fwi.
Apapun kualitasnya, semangat dan gagasannya saya lihat
sepintas memberi harapan baru pada dunia panggung teater di Riau. Dengan 2
pementasan yg kebetulan saya tonton 2014 dan 2015, potensi itu terkesan kuat ada
pada Willy bersama kawan-kawannya.
Tetapi kita harapkan ada bertumbuhan kelompok2 teater yg
baru, bisa jadi muncul di sekolah2 dan di perguruan tinggi di Riau. Sehingga
dgn adanya kompetitor, akan menumbuhkan semangat untuk saling muncul dgn
mewujudkan kualitas.
Riau tidak usah malu, untuk mengundang teman2 teater dari
provinsi tetangga Sumbar, untuk pertunjukan apresiasi, diskusi, pelatihan atau
pun langsung untuk menjadi sutradara, menularkan kehidupan teater di sekolah2
dan perguruan2 tinggi. Lalu dikawal dgn diselenggarakan festival teater tingkat
lokal Riau.
Sudah saatnya juga Riau bergerak menjalin keterhubungan dgn provinsi terkait. Mengadakan pertemuan
teater 3 kota, Pekanbaru, Padang dan Jambi secara variatif dan berkala. Agar
terjadi dialog dan pemicu tumbuhnya kehidupan berteater di Riau.
Sangat tepat Willy mementaskan Robohnya Surau Kami adaptasi
dari naskah cerpen A A Navis, di dalam rangkaian kegiatan Islamic Art Festival
2015 Riau. Karena topik yg dikemuka dari naskah, sangat relevan dgn kekinian
dan jg masa depan kita.
Saya mengusul, dgn konsep yg sama dan struktur yg sdh ada,
diperkuat garapannya lagi, lebih diberi kekuatan teaternya yg juga adalah
tontonan, tentu akan tetap relevan diluar festival yg menghadirkannya.
Robohnya Surau Kami, relevan sebagai momentum untuk
khususnya Riau. Tidak semata hanya ditafsir dalam konteks keyakinan relegius,
bisa lebih diluaskan pada sisi struktur tatanan sosial dan budaya, yg tak bisa
dipungkiri tengah berlangsung mengalahkan semua lini kita.
Jangan biarkan roboh.
Jangan biarkan hancur akibat ketidakpedulian.
Dan kita tahu putaran ekonomi dan politik sangat tinggi,
semestinya kehidupan kesenian dan budaya walau tak akan tinggi tapi pemerintah,
pelaku kesenian dan budaya beserta masyarakat daerah ini, tak kan membiarkan
mati, takkan mati bisa terwujud kalau tak dihidupi !!!
[Pekanbaru, 22 Desember 2015]
(Semoga catatan ini bermanfaat bagi kehidupan kesenian)